Selain menimbulkan polemik tentang definisi bid’ah dan pembagian
tauhid, golongan wahabi memang dikenal dengan sifat plin-plan dan
kontradiksinya. Ini karena mereka seringkali tidak konsisten dalam
mengambil sumber hukum. Walaupun mereka selalu berkata bahwa mereka
mengambil dan mengikuti pemahaman manhaj salaf dalam masalah Aqidah dan
Syari’at. Karena pada faktanya ketika ada fatwa seorang sahabat yang
berbeda dengan “pemaham akal” seorang ulama wahabi, maka mereka
cenderung mengambil pendapatnya sendiri dengan ‘mencampakkan’ fatwa
sahabat tersebut, seperti pada kasus Ibn Baz dibawah ini. (beberapa
contoh kasus ini diambil dari beberapa dialog antar golongan wahabi yang
berbantahan dengan sebuah partai politik yang berideologi Islam di
Indonesia dan ini merupakan gambaran berikutnya bahwa wahabi tak pernah
harmonis dengan siapapun atau golongan apapun bahkan dengan sekte-sekte
salafynya sekalipun).
Seseorang pernah menyusun buku tentang memelihara janggut. Didalamnya
dia menyebutkan pendapat Ibn Hurairah, ibn Umar, maupun sahabat-sahabat
lainnya tentang kebolehan memotong sebagian janggut jika panjangnya
melebihi satu genggam. Maka Ibn Baz berkomentar : “Walaupun ini pendapat Abu Hurairah dan pendapat Ibn Umar,
hanya saja yang didahulukan adalah firman Allah SWT dan sabda
Rasulullah SAW” !! (Majalah Hidayatullah edisi 03\\XVII\\Juli 2004; hal.
40-41).
Jika seperti itu kenyatannya, lalu mana slogan memahami Al-Qur’an dan
As-Sunnah menurut pemahaman Salaf Ash-Sholeh (Sahabat, tabi’in dan
Tabi’ut tabi’in) ? Golongan wahabi ini dengan berani mengklaim’ bahwa
‘pemahaman Ibn Baz, Utsaimin, Albani dkk lebih baik dari pendapat dan
fatwa para sahabat yang mulia ini ! Dan menyatakan bahwa mereka (para
ulama salafi palsu) lebih mengetahui hadis Rasul SAW dibandingkan para
sahabat yang mulia ini, yang senantiasa menemani, melihat dan mendengar
perkataan, perbuatan, serta taqrir Rasul SAW !! Lalu dengan beraninya,
ia berkilah lagi bahwa hadis itu belum sampai kepada Sahabat tersebut.
Tapi malah sudah sampai pada Albani, Utsaimin, Ibn Baz dkk ? Seakan-akan
golongan wahabi menyatakan bahwa para ulama salafi palsu ini mengklaim
diri merekalah yang ‘lebih nyalaf’ dibandingkan para Salaf As-Sholeh itu
sendiri !
Dan banyak lagi kasus ulama wahabi yang lebih mengunggulkan
pendapatnya sendiri, ketika pada saat yang bersamaan terdapat pendapat
dari Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in yang berbeda dengan pendapat
mereka. Sebagaimana contoh berikut :
“ Pada suatu pelajaran, Abdullah Ibn Baz pernah menyatakan bahwa
membolehkan pernikahan dengan ahlul kitab dengan persyaratan. Sebagian
mahasiswa yang mengikuti pelajaran itu berkata : “Wahai Syeikh,
sebagaian Sahabat melarang hal itu !”. Beliau menoleh kepada Mahasiswa
itu, lalu berkata : “Apakah perkataan Sahabat menentang Al-Qur’an dan
As-Sunnah ? Tidak berlaku pendapat siapapun setelah firman Allah SWT dan
sabda Rasul-Nya“ (Majalah Hidayatullah edisi 03\\XVII\\Juli 2004; hal.
40-41).
Lalu bagaimana bisa, golongan wahabi ini mengklaim mengambil manhaj
Salaf dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana pemahaman
sahabat, sementara pada saat yang bersamaan menolak dan mencampakkan
pendapat mereka ? Seraya melontarkan kata-kata keji yang menodai
kemulian para Sahabat ini yang telah ditetapkan dengan nash Al-Qur’an
dan Al-Hadis, dengan ucapan : “Hadis shahih ini belum sampai pada
mereka’, atau ‘apakah anda akan memilih pendapat sahabat atau hadis
Rasul SAW’ “!! Sehingga menurut orang-orang salafi palsu ini,
seakan-akan mereka para sahabat ini adalah orang awam yang tidak pernah
mendengar apalagi mendapat hadis dari Rasul SAW !
Cukuplah hadis Rasulullah SAW untuk menghakimi perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan mereka : “Jika anda melihat orang-orang yang mecela sahabatku, maka katakanlah; Laknat Allah atas keburukanmu” (HR. AT-Tirmidzi) !!!
Lalu bagaimana juga dibisa katakan bahwa hasil pemahaman akal
Ibn Baz, Utsaimin, Albani dkk atas nash Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah
selalu mewakili pendapat dan pemahaman Salaf atau dikatakan sebagaimana
pemahaman para sahabat ?!, seperti yang dilakukan oleh Ibn Baz
ketika ia mengomentari banyak persolan yang diulas oleh seseorang dengan
menyebutkan , menurut madzhab ini begini dan menurut madzhab itu
begitu. Lalu dia berkomentar : “Bagi kami tidak berpendapat berdasarkan
madzhab ini dan madzhab itu. Kami berpendapat dengan firman Allah SWT
dan sabda rasul SAW “(Majalah Hidayatullah edisi 03\\XVII\\Juli 2004;
hal. 40-41).
Apakah para wahabiyyun itu tidak mengetahui, dari mana para ulama
ahlussunnah ini mengambil pendapat madzhabnya ? Mereka mengambil
pendapatnya dari Imam Asy-Syafi’i, Abu Hanifah, Malik, Ahmad ibn Hambal
dll ! Kitab Al-Muwatho karya Imam Malik (sebagaimana dinyatakan sendiri
oleh Imam Malik dalam muqadimah kitabnya) mendapat rekomendasi dari 70
ulama Madinah yang merupakan anak keturunan dan murid sahabat atau
tabi’in dan tabiu’ tabi’in di Madinah, lalu Fathur Rabani-nya – Imam
Ahmad Ibn Hambal yang berisi ribuan hadis nabi SAW, bahkan ketika beliau
ditanya apakah seorang yg hafal 100 ribu hadis boleh berijtihad
sendiri, Imam Ahmad menjawab : ‘Belum boleh’. Lalu beliau ditanya lagi :
‘apakah seorang yg hafal 200 ribu hadis boleh berijtihad sendiri’ ,
Imam Ahmad menjawab : ‘Belum boleh’. Ketika beliau ditanya kembali :
‘apakah seorang yg hafal 400 ribu hadis boleh berijtihad sendiri’ , lalu
Imam Ahmad menjawab : ‘boleh’. Bahkan Imam Abu Hatim sampai menyatakan
bahwa mencintai Imam Ahmad adalah pengikut Sunnah. Abu Hatim berkata :
“Jika anda lihat seseorang mencintai Imam Ahmad ketahuilah ia adalah
pengikut Sunnah.” (As-Siyar A’lam An- Nubala’ 11/198).
Lalu apakah tidak boleh seseorang yang mengambil pendapat Imam Malik
(yang menjadi pewaris madzhab Sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in); lalu
Imam Ahmad (yang hafal 400 ribu hadis), imam syafii yg menulis kitab
Al-Umm, Ar-Risalah (yang juga berisi ribuan hadis); dan Imam Abu Hanifah
yg menulis kitab Al-Mabsuth dll (yang berisi juga hadis-hadis dan fatwa
Salaf Ash-Sholeh) dan Ulama Mujtahid lainnya ?
Apakah ketika ada seseorang mengambil salah satu pendapat Imam
Asy-Syafii, Abu Hanifah, Malik, Ahmad ibn Hambal dll dikatakan sebagai
Ahlut Taqlid, sedang ketika wahabiyyun mengambil Albani, Ibn Baz,
Utsaimin dll, disebut sebagai muttabi (pengikut) Manhaj Salaf ?! Lalu
adakah salah satu ulama wahabi yang punya karya melebihi al-Muwatho Imam
Malik, atau yg hafal hadis lebih dari 400 ribu seperti Imam Ahmad, atau
kitab fiqh sunnah seperti Al-Umm atau Al-Mabsuth !!! Tidak ada !!!
Lantas bagaimana kelompok sempalan ini bisa mengatakan hal seperti itu ?
Sungguh ucapan seperti ini merupakan bentuk kekurang ajaran kepada para
Ulama Mujtahid yg dilontarkan dari generasi terakhir yang sama sekali
tidak mencapai barang secuilpun dari ilmu para Imam Mujtahid (yang
sering sok tahu dengan mengklaim paling berpegang dengan madzhab Salaf
!!!), dan pada saat bersamaan menuduh para ulama alussunnah yang
mengambil pendapat para Imam Mujtahid sabagai Ahlut Taqlid. Padahal
sebenarnya Imam Mujtahid inilah yang paling layak disebut sebagai
pewaris madzhab Salaf dalam Aqidah dan fiqh karena dekatnya mereka
dengan masa Sahabat, tabiin, dan tabiut tabiin dan banyak ahli ilmu pada
masa itu !
Tidak cukup sampai disini tatkala ada seseorang atau kelompok menukil
atau mengambil pendapat Imam Asy-Syafi’i, Abu Hanifah, Malik, Ahmad ibn
Hambal dll, yang berbeda dengan pemahaman seorang tokoh wahabi, maka
serta merta kelompok sempalan ini biasanya akan mengatakan : “tinggalkan
pendapat Syafi’i atau Hanafi, dan ambilah hadis shohih ini yang telah
ditakhrij oleh Albani dalam Silsilah Ahadits Ash-Shohihah atau
Adh-Dhoifah !” . Lalu seakan-akan wahabi menuduh Imam Syafi’i, Maliki,
dan Hambali adalah ‘anak kemarin sore’ yang tidak tahu dalil, apalagi
hadis shohih dan dhoif, lalu untuk memperkuat argumentasinya biasanya
dinukil ucapan Para Imam Ini; spt Imam Syafi’i : “ Jika ada hadis
shohih, maka tinggalkan pendapatku” atau ucapan Imam Hanafi atau Maliki
yang serupa – (tentunya dengan pemahaman yang tidak pada mestinya dan
merasa ‘ke pe-de-an’) !
Padahal, sebenarnya para Imam ini tetap berhujjah dengan Al-Qur’an
dan Al-Hadis, dimana yang membuat pendapat mereka berbeda bisa karena :
perbedaan metode Ushul Fiqh untuk istimbath (mengekstaksi hukum-hukum
dari dalil-dali syara), atau mereka berbeda dalam menghukumi apakah nash
ini apakah sudah mansukh dan hukum yang baru ditentukan dengan nash
yang lain, atau mereka berbeda tentang status keshahihan sebuah hadis
atau sebab lain. Itupun jika wahabiyyun memang mau mencari Al-Haq dangan
hujjah yang terkuat dan melepaskan ‘ruh ta’asub !!
Disisi lain, ulama wahabiyyun ini juga kadang melakukan penukilan
‘khianat’ dari para ulama tentang keharusan ‘mentahdzir’ (memberi
hukuman) ahlul bid’ah yang tidak sesuai dan tidak pada tempatnya atau
cara pemahaman mereka yang tekstual, padahal para ulama yang dinukil
qaul-nya tadi, juga sebagian besar divonis sesat oleh ulama wahabiyyun
!!! Imam Qurthubi, Imam Nawawi, AL-Hafidz Ibn Hajar, Imam Al-Hakim dll
divonis menyimpang aqidahnya karena mereka asy’ari, tapi kitab mereka
seperti tafsir al-qurthubi, Syarh shohih muslim, al-mustadrak, fathul
bari dan karya Ibn Hajar yang lain tentang manakibur rijal al-hadis
(biografi para perawi hadis), masih sering dinukil bahkan tidak jarang
digunakan unutk menjustifikasi ‘pendapat mereka’ dan digunakan untuk ‘
menohok’ saudara sesama muslim. Apa itu bukan asal comot namanya ?!
Seharusnya, ketika mereka sudah memvonis bahwa ulama tersebut berbeda
aqidah dengan aqidah yang mereka peluk, mereka sudah tidak berhak lagi
menukil dari karya-karya mereka !!! (tidak konsisten dan standard ganda
seperti orang ‘bokek’, maka sepertinya wajar saja ada yang menyebut
golongan ini sebagai ‘madzhab plin-plan’ !!!)
Bahkan jika memang kelompok salafi palsu ini berisi oleh ulama yang
‘pilih tanding’, buat saja tafsir yang selevel dengan milik AL-Qurtubi
atau Ibn Katsier; atau buat kitab Jarh Wa Ta’dil atau Manakib Ar-rijal
Al-hadis yang lebih baik dari karya Al-Hafidz Ibn Hajar atau Al-Hafidz
Ibn Asakir dll; atau buatlah kitab hadis yang jauh lebih shohih dari
Al-Mustadraknya Al-Hakim atau Kitab Shohihnya Ibnu Hibban, Mu’jamnya Ibn
Hajar Al-Asqolani. Itupun kalau wahabi mampu !!!
Lalu siapakah Albani, Ibn Baz, Utsaimin dkk, jika dibandingkan dengan
Imam Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hambali ?! Padahal kepada mereka
inilah (yaitu Imam Syafi’i dkk) para ‘warasatul anbiya’ kita mengkaji
dan mengambil Al-Islam ini ! Ditambah lagi dengan mudahnya kelompok
sempalan ini menuduh para ulama pengikut Madzhab Imam Syafi’i, Maliki,
Hambali, Hanafi sebagai Ahlul bid’ah karena punya hasil ijtihad yang
berbeda dengan kelompok mereka dalam memahami nash-nash syara’ atau
bahkan dicap sesat bahkan disamakan dengan Mu’tazilah atau Jabariyah
ketika mereka punya penafsiran yang berbeda terutama dalam masalah
aqidah (biasanya dalam masalah Asma dan Sifat) . Padahal pada hakikatnya
yang lebih pantas disebut sebagai penerus madzhab Salaf Ash-Sholeh
adalah para Imam ini, seperti Imam Syafi’i, Maliki, Hambali, Hanafi,
Al-Auzai, Hasan Al-Bashri dll dari para Mujtahid umat ini, karena
dekatnya mereka dengan masa para Salaf Ash-Shalih dan telah terbukti
mereka punya metode ushul fiqh; yang dengan metode itu mereka berijtihad
dan melakukan istimbath untuk menjawab problematika umat pada masanya,
sehingga umat Islam senantiasa terikat dengan hukum syara’ bukan dengan
hukum yang lainnya ! Dan bukannya Albani, Utsaimin, dan Ibn Baz atau
selain mereka, kecuali mereka bisa menunjukkan metode Ushul Fiqh yang
jauh lebih unggul dari para Imam Mujtahid ini !!!
Klaim bahwa wahabiyyun mengikuti pemahaman para sahabat itu terbukti
kelemahannya, karena tidak ada satu riwayatpun yang shahih – yang
menceritakan kepada kita bahwa para sahabat atau salah seorang diantara
mereka membukukan metode mereka dalam memahami nash-nash syara’ (metode
Ushul Fiqh), kecuali sebagian riwayat yang menjelaskan tentang fatwa
sahabat dan tabi’in dalam beberapa masalah seperti yang banyak
dicantumkan oleh Imam Malik dalam Kitabnya ‘Al-Muwatho’. Malah ternyata
mereka hanya mengikuti pemahaman Albani, Ibn Baz, Utsaimin dkk. Bukannya
ini taqlid buta ?! Atau ‘memaksakan’ berijtihad sendiri ?!
Pertanyaannya adalah : dari mana kelompok salafi palsu ini mengklaim
mengetahui cara para sahabat, tabiin dan tabiut tabiin ini memahami
Al-Quran dan As-Sunnah, padahal mereka (para Sahabat) tidak pernah
membukukan metode tersebut ?!!
Jawabnya mudah; baca kitab Ar-Risalah dan Al-Umm-nya Imam
Asy-Syafi’i, karena beliaulah yang pertama kali (menurut sebagian Ulama
dan sejarawan Islam) yang membukukan metode tersebut (yang kemudian
dikenal dengan metode Ushul Fiqh) !!! Yang selanjutnya digunakan
ulama-ulama sesudahnya sebagai patokan dan pedoman untuk memahami
nash-nash syara dari Al-Kitab dan As-Sunnah !!! Hal sama juga akan kita
dapati jika kita mengkaji kitab Fiqh Al-Akbar-nya Imam Abu Hanifah,
Al-Muwatho-nya Imam Malik, Fathur Rabani-nya Imam Ahmad Ibn Hambal dll ?
Jadi, bukan atas fatwa Albani, Ibn Baz dan Utsaimin !!! Dan ternyata
para wahabiyyun banyak terpengaruh kitab-kitab karangan ulama wahabi ini
serta ulasan-ulasan mereka mengenai kitab-kitab karangan para Imam
madzhab sebagaimana pemikirannya sendiri bahkan dengan kebusukan mereka
memalsukan isi-isi kitab klasik karangan para ulama salaf !!!
Lalu dari mana para Imam ini merumuskan metode Ushul Fiqh, kalau
tidak dari pendahulu mereka yang mulia, mengingat masih dekatnya masa
mereka dengan masa para Salaf Ash-Sholeh tersebut (banyak yang
mengatakan bahwa Imam Abu Hanifah dan Imam Malik masih termasuk Tabi’in
dan tabi’ut tabi’in), dan banyaknya Ahli Ilmu pada masa itu ?! Apalagi
banyak riwayat yang menyebutkan bahwa karya-karya mereka seperti Al-Umm,
Ar-Risalah atau Fathur rabbani – Musnad Imam Ahmad diakui oleh jumhur
ulama pada masa itu. Bahkan Al-Muwatho (sebagaimana dinyatakan oleh Imam
Malik dalam muqadimah kitabnya) mendapat rekomendasi dari 70 ulama
Madinah yang merupakan anak keturunan dan murid sahabat atau tabi’in dan
tabiu’ tabi’in di Madinah.
Walhasil, yang pantas disebut sebagai penerus Salaf Ash-Sholeh dan
berjalan diatas manhaj salaf serta mengerti pemahaman para sahabat
adalah mereka yang mengikuti metode Ushul Fiqh yang telah dirumuskan
oleh Para Imam Mujtahid ini, untuk menggali hukum dari nash-nash syara’
guna menjawab problematika kontemporer umat saat ini, agar seperti
pendahulunya mereka senantiasa terikat dengan Syari’at Islam.
Lalu sekarang darimana wahabiyyun bisa buktikan, bahwa metode yang
mereka gunakan itu adalah metode yang sama dengan yang digunakan para
salaf ini ? Sedangkan wahabiyyun tidak punya metode ushul fiqh baku yang
di-ikuti dalam berijtihad, apalagi membuktikan kalau metode itu berasal
dari para Salaf Ash-Sholeh ini !
Selanjutnya, tentang ulama-ulama wahabi yang diaku sebagai Ulama
Hadis, apakah memang benar realitanya seperti itu ? Semua orang boleh
melakukan klaim, tetapi semua itu harus dibuktikan terlebih dahulu !!!
Coba perhatikan penjelasan Imam Sakhowi tentang siapa Ahli Hadis
(muhaddis) itu sebenarnya : “Menurut sebagian Imam hadis, orang yang
disebut dengan Ahli Hadis (Muhaddis) adalah orang yang pernah menulis
hadis, membaca, mendengar, dan menghafalkan, serta mengadakan rihlah
(perjalanan) keberbagai tempat untuk mendapatkan hadis, mampu merumuskan
beberapa aturan pokok (hadis), dan mengomentari cabang dari Kitab
Musnad, Illat, Tarikh yang kurang lebih mencapai 1000 buah karangan”.
Jika demikian (syarat-syarat ini terpenuhi) maka tidak diingkari bahwa
dirinya adalah ahli hadis.
Tetapi jika ia sudah mengenakan jubah pada kepalanya, lalu berkumpul
dengan para penguasa pada masanya, atau menghalalkan perhiasan lu’lu dan
marjan atau memakai pakaian yang berlebihan (pakaian yang
berwarna-warni), dan ia hanya mempelajari hadis Al-Ifki wa Al-Butan,
maka ia telah merusak harga dirinya, bahkan ia tidak memahami apa yang
dibicarakan kepadanya, baik dari juz atau kitab asalnya. Ia tidak pantas
dan jauh dari menyandang gelar seorang Muhaddis. Karena dengan
kebodohannya ia telah memakan sesuatu yang haram. Jika ia
menghalalkannya maka ia telah keluar dari Agama Islam (Lihat Fathu
Al-Mughis li Al- Sakhowi, juz 1\\hal. 40-41). Sehingga yang layak
menyandang gelar ini adalah Muhaddis generasi awal seperti Imam Bukhari,
Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam Nasa’i, Imam Ibn Majah, Imam
Daruquthni, Imam Al-Hakim Naisaburi ,Imam Ibn Hibban dll. Apakah tidak
terlalu berlebihan (atau bahkan termasuk ghuluw) dengan menyamakan
mereka (Imam Bukhari, Imam Muslim, imam Abu Dawud dkk) dengan
syeikh-syeikh wahabi yang tidak pernah menulis hadis, membaca,
mendengar, menghafal, meriwayatkan, melakukan perjalanan mencari hadis
atau bahkan memberikan kontribusi pada perkembangan Ilmu hadis yang
mencapai seribu karangan lebih ?
Sekarang kita tinggal tanya saja pada pengikut, simpatisan, dan
korban doktrin wahabi ini; apakah masih menganggap Albani sebagai
muhaddits, atau utsaimin telah keluar dari kontradiksinya tentang
bid’ah, atau masih mengikuti ulama-ulama mereka yang selalu mengeluarkan
fatwa-fatwa nyeleneh yang membuat kemarahan muslim sedunia ? Atau
hanyalah pentaqlid buta ulama wahabi yang berlindung dibalik ketiak raja
saudi ?! Jika pernyataan-pernyataan diatas ini masih dianggap kurang,
padahal sudah jelas pengungkapan faktanya, jangan-jangan mata hati dan
pikiran kalian sudah tertutup untuk melihat kebenaran (al-haq) diluar
kelompok kalian karena ‘ruh ta’ashub’ sudah mengalir dalam urat nadi
kalian !!! Namun jika kalian berusaha untuk mencari kebenaran yang haq
tanpa menafikan informasi dan ilmu dari luar (objektif), tanpa adanya
syak prasangka yang jelek (su’udzon), tanpa rasa benci pada seseorang
apalagi ia seorang ulama, insyaAllah hidayah menuju pintu kebenaran akan
terbuka.
salafiah.net
Seorang Muslim Yang Belajar Islam Langsung Dari Al-Qur'an Dan Hadits Pastilah Seorang Ahli Bid'ah Sayyi'ah. Sebab Rasulullah Telah Berwasiat untuk Berpegang Teguh Pada Alqur-an dan As-Sunnah Dengan Mengikuti Pemahaman Para Sahabat, Tabi'in, Tabi'ittabi'in. Bukan Pemahaman Diri Sendiri. Dan Beruntunglah Yang Bermadzhab Hanafi, Maliki, dan Syafi'i Yang Merupakan Imam Dari Kalangan Tabi'in dan Tabi'ittabi'in
No comments:
Post a Comment