Dalam sebuah diskusi di Masjid At-Taqwa, Denpasar Bali, ada peserta yang bertanya, “Bagaimana Islam menanggapi orang-orang yang melakukan ziarah ke makam para wali dengan tujuan mencari berkah?”
Berkah (barokah) diartikan dengan
bertambahnya kebaikan (ziyadah al-khair). Sedangkan tabarruk bermakna
mencari 'bertambahnya kebaikan' atau ngalap barokah (thalab ziyadah
al-khair). Demikian para ulama menjelaskan.
Masyarakat kita seringkali mendatangi
orang-orang saleh dan para ulama sepuh dengan tujuan tabarruk. Para
ulama dan orang saleh memang ada barokahnya. Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم:
اَلْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ “. رواه ابن حبان (١٩١٢) وأبو نعيم في
“الحلية” (٨/١٧٢) و الحاكم في “المستدرك” (١/٦٢) و الضياء في “المختارة”
(٦٤/٣٥/٢) و قال الحاكم : “صحيح على شرط البخاري” . و وافقه الذهبي.
“Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Berkah
Allah bersama orang-orang besar di antara kamu.” (HR. Ibn Hibban (1912), Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (8/172), al-Hakim dalam al-Mustadrak (1/62) dan al-Dhiya’ dalam al-Mukhtarah (64/35/2). Al-Hakim berkata, hadits ini shahih sesuai kriteria al-Bukhari, dan al-Dzahabi menyetujuinya.)
Allah bersama orang-orang besar di antara kamu.” (HR. Ibn Hibban (1912), Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (8/172), al-Hakim dalam al-Mustadrak (1/62) dan al-Dhiya’ dalam al-Mukhtarah (64/35/2). Al-Hakim berkata, hadits ini shahih sesuai kriteria al-Bukhari, dan al-Dzahabi menyetujuinya.)
Al-Imam al-Munawi menjelaskan dalam
Faidh al-Qadir, bahwa hadits tersebut mendorong kita mencari berkah
Allah subhanahu wa ta’ala dari orang-orang besar dengan memuliakan dan
mengagungkan mereka. Orang besar di sini bisa dalam artian besar ilmunya
seperti para ulama, atau kesalehannya seperti orang-orang saleh. Bisa
pula, besar dalam segi usia, seperti orang-orang yang lebih tua.
Di antara amal yang dapat mendekatkan
seseorang kepada Allah subhanahu wa ta’ala adalah ziarah makam para nabi
atau para wali. Baik ziarah tersebut dilakukan dengan tujuan
mengucapkan salam kepada mereka atau karena tujuan tabarruk (ngalap
barokah) dengan berziarah ke makam mereka. Maksud tabarruk di sini
adalah mencari barokah dari Allah subhanahu wa ta’ala dengan cara
berziarah ke makam para wali.
Orang yang berziarah ke makam para wali
dengan tujuan tabarruk, maka ziarah tersebut dapat mendekatkannya kepada
Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak menjauhkannya dari Allah subhanahu
wa ta’ala. Orang yang berpendapat bahwa ziarah wali dengan tujuan
tabarruk itu syirik, jelas keliru. Ia tidak punya dalil, baik dari
al-Qur’an maupun dari hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Al-Hafizh Waliyyuddin al-’Iraqi berkata ketika menguraikan maksud
hadits:
أَنَّ مُوْسَى قَالَ: رَبِّ
أَدْنِنِيْ مِنَ اْلأَرْضِ الْمُقَدَّسَةِ رَمْيَةً بِحَجَرٍ وَأَنَّ
النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «وَاللهِ لَوْ أَنِّيْ عِنْدَهُ
لأَرَيْتُكُمْ قَبْرَهُ إِلَى جَنْبِ الطَّرِيْقِ عِنْدَ الْكَثِيْبِ
الْأَحْمَرِ».
“Sesungguhnya Nabi Musa berkata, “Ya
Allah, dekatkanlah aku kepada tanah suci sejauh satu lemparan dengan
batu.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Demi Allah,
seandainya aku ada disampingnya, tentu aku beritahu kalian letak makam
Musa, yaitu di tepi jalan di sebelah bukit pasir merah.”
Ketika menjelaskan maksud hadits tersebut, al-Hafizh al-’Iraqi berkata:
وَفِيْهِ اسْتِحْبَابُ
مَعْرِفَةِ قُبُوْرِ الصَّالِحِيْنَ لِزِيَارَتِهَا وَالْقِيَامِ
بِحَقِّهَا، وَقَدْ ذَكَرَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم لِقَبْرِ
السَّيِّدِ مُوْسَى u عَلاَمَةً هِيَ مَوْجُوْدَةٌ فِيْ قَبْرٍ مَشْهُوْرٍ
عِنْدَ النَّاسِ اْلآَنَ بِأَنَّهُ قَبْرُهُ، وَالظَّاهِرُ أَنَّ
الْمَوْضِعَ الْمَذْكُوْرَ هُوَ الَّذِيْ أَشَارَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ
الصَّلَاةُ وَالسَّلاَمُ.
“Hadits tersebut menjelaskan anjuran
mengetahui makam orang-orang saleh untuk dizarahi dan dipenuhi haknya.
Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah menyebutkan tanda-tanda makam
Nabi Musa yaitu pada makam yang sekarang dikenal masyarakat sebagai
makam beliau. Yang jelas, tempat tersebut adalah makam yang ditunjukkan
oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam.” (Tharh al-Tatsrib, [3/303]).
Pada dasarnya ziarah kubur itu sunnat dan ada pahalanya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله
عليه وسلم : « كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ
فَزُوْرُوْهَا » رَوَاهُ مُسْلِمٌ (٧/٤٦). وَفِيْ رِوَايَةٍ « فَمَنْ
أَرَادَ أَنْ يَزُوْرَ الْقُبُوْرَ فَلْيَزُرْ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُنَا
اْلآَخِرَةَ».
“Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda: “Dulu aku melarang kamu ziarah kubur. Sekarang
ziarahlah.” (HR. Muslim). Dalam satu riwayat, “Barangsiapa yang hendak
ziarah kubur maka ziarahlah, karena hal tersebut dapat mengingatkan kita
pada akhirat.” (Riyadh al-Shalihin [bab 66]).
Di sini mungkin ada yang bertanya,
adakah dalil yang menunjukkan bolehnya ziarah kubur dengan tujuan
tabarruk dan tawassul? Sebagaimana dimaklumi, tabarruk itu punya makna
keinginan mendapat berkah dari Allah subhanahu wa ta’ala dengan
berziarah ke makam nabi atau wali. Kemudian para nabi itu meskipun telah
pindah ke alam baka, namun pada hakekatnya mereka masih hidup. Dengan
demikian, tidak mustahil apabila mereka merasakan datangnya orang yang
ziarah, maka mereka akan mendoakan peziarah itu kepada Allah subhanahu
wa ta’ala. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: «اَلاَنْبِيَاءُ أَحْيَاءٌ فِيْ قُبُوْرِهِمْ يُصَلُّوْنَ» رواه البيهقي.
“Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda: “Para nabi itu hidup di alam kubur mereka seraya
menunaikan shalat.” (HR. al-Baihaqi dalam Hayat al-Anbiya’, [1]).
Sebagai penegasan bahwa Nabi shallallahu
alaihi wa sallam yang telah wafat, dapat mendoakan orang yang masih
hidup, adalah hadits berikut ini:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ
مَسْعُوْدٍ رضي الله عنه عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ:
«حَيَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ تُحْدِثُوْنَ وَيُحْدَثُ لَكُمْ وَمَمَاتِيْ
خَيْرٌ لَكُمْ فَإِذَا أَنَا مِتُّ عُرِضَتْ عَلَيَّ أَعْمَالُكُمْ فَإِنْ
رَأَيْتُ خَيْرًا حَمِدْتُ اللهَ وَإِنْ رَأَيْتُ غَيْرَ ذَلِكَ
اِسْتَغْفَرْتُ لَكُمْ » رَوَاهُ الْبَزَّارُ.
“Dari Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Hidupku lebih baik bagi kalian. Kalian berbuat sesuatu, aku dapat
menjelaskan hukumnya. Wafatku juga lebih baik bagi kalian. Apabila aku
wafat, maka amal perbuatan kalian ditampakkan kepadaku. Apabila aku
melihat amal baik kalian, aku akan memuji kepada Allah. Dan apabila aku melihat sebaliknya, maka aku memintakan ampun kalian kepada Allah.” (HR. al-Bazzar, [1925]).
Karena keyakinan bahwa para nabi itu
masih hidup di alam kubur mereka, kaum salaf sejak generasi sahabat
melakukan tabarruk dengan Nabi shallallahu alaihi wa sallam setelah
beliau wafat. Hakekat bahwa para nabi dan orang saleh itu masih hidup di
alam kubur, sehingga para peziarah dapat bertabarruk dan bertawassul
dengan mereka, telah disebutkan oleh Syaikh Ibn Taimiyah berikut ini:
وَلاَ يَدْخُلُ فِيْ هَذَا
الْبَابِ (أَيْ مِنَ الْمُنْكَرَاتِ عِنْدَ السَّلَفِ) مَا يُرْوَى مِنْ
أَنَّ قَوْمًا سَمِعُوْا رَدَّ السَّلاَمِ مِنْ قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله
عليه وسلم أَوْ قُبُوْرِ غَيْرِهِ مِنَ الصَّالِحِيْنَ وَأَنَّ سَعِيْدَ
بْنِ الْمُسَيَّبِ كَانَ يَسْمَعُاْلأَذَانَ مِنَ الْقَبْرِ لَيَالِيَ
الْحَرَّةِ وَنَحْوُ ذَلِكَ فَهَذَا كُلُّهُ حَقٌّ لَيْسَ مِمَّا نَحْنُ
فِيْهِ وَاْلأَمْرُأَجَلُّ مِنْ ذَلِكَ وَأَعْظَمُ وَكَذَلِكَ أَيْضًا مَا
يُرْوَى أَنَّ رَجُلاً جَاءَ إِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم
فَشَكَا إِلَيْهِ الْجَدَبَ عَامَ الرَّمَادَةِ فَرَآهُ وَهُوَ يَأْمُرُهُ
أَنْ يَأْتِيَ عُمَرَ فَيَأْمُرَهُأَنْ يَخْرُجَ فَيَسْتَسْقِي النَّاسُ
فَإِنَّ هَذَا لَيْسَ مِنْ هَذَا الْبَابِ وَمِثْلُ هَذَا يَقَعُ كَثِيْرًا
لِمَنْهُوَ دُوْنَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَأَعْرِفُ مِنْ هَذِهِ
الْوَقَائِعِ كَثِيْرًا. (الشيخ ابن تيمية، اقتضاء الصراط المستقيم ١/٣٧٣).
“Tidak masuk dalam bagian ini
(kemungkaran menurut ulama salaf) adalah apa yang diriwayatkan bahwa
sebagian kaum mendengar jawaban salam dari makam Nabi shallallahu alaihi
wa sallam atau makam orang-orang saleh, juga Sa’id bin al-Musayyab
mendengar adzan dari makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada
malam-malam peristiwa al-Harrah dan sesamanya. Ini semuanya benar, dan
bukan yang kami persoalkan. Persoalannya lebih besar dan lebih serius
dari hal tersebut. Demikian pula bukan termasuk kemungkaran, adalah apa
yang diriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang ke makam Nabi
shallallahu alaihi wa sallam lalu mengadukan musim kemarau kepada beliau
pada tahun ramadah (paceklik). Lalu orang tersebut bermimpi Nabi
shallallahu alaihi wa sallam dan menyuruhnya untuk mendatangi Umar bin
al-Khaththab agar keluar melakukan istisqa’ dengan masyarakat. Ini bukan
termasuk kemungkaran. Hal semacam ini banyak sekali terjadi dengan
orang-orang yang kedudukannya di bawah Nabi shallallahu alaihi wa
sallam, dan aku sendiri banyak mengetahui peristiwa-peristiwa seperti
ini.” (Syaikh Ibn Taimiyah, Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim, juz. 1,
hal. 373).
Kisah laki-laki yang datang ke makam
Nabi shallallahu alaihi wa sallam di atas, telah dijelaskan secara
lengkap oleh al-Hafizh Ibn Katsir al-Dimasyqi, murid terkemuka Syaikh
Ibn Taimiyah, dalam kitabnya al-Bidayah wa al-Nihayah. Beliau berkata:
وَقَالَ الْحَافِظُ اَبُوْ
بَكْرٍ الْبَيْهَقِيُّ اَخْبَرَنَا اَبُوْ نَصْرٍ بْنُ قَتَادَةَ وَاَبُوْ
بَكْرٍ الْفَارِسِيُّقَالَا حَدَّثَنَا اَبُوْ عُمَرِ بْنِ مَطَرٍ
حَدَّثَنَا اِبْرَاهِيْمُ بْنُ عَلِيٍّ الذُّهْلِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى
بْنُيَحْيَى حَدَّثَنَا اَبُوْ مُعَاوِيَةَ عَنِ اْلأَعْمَشِ عَنْ اَبِيْ
صَالِحٍ عَنْ مَالِكٍ قَالَ اَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌفِيْ زَمَنِ عُمَرِ
بْنِ الْخَطَّابِ فَجَاءَ رَجُلٌ اِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه
وسلم فَقَالَيَارَسُوْلَ اللهِ اِسْتَسْقِ اللهَ لِاُمَّتِكَ فَاِنَّهُمْ
قَدْ هَلَكُوْا فَأَتَاهُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي
الْمَنَامِ فَقَالَ اِيْتِ عُمَرَ فَأَقْرِءْهُ مِنِّي السَّلاَمَ
وَاَخْبِرْهُمْ اِنَّهُمْ مُسْقَوْنَ وَقُلْلَهُ عَلَيْكَ بِالْكَيْسِ
الْكَيْسِ فَاَتَى الرَّجُلُ فَاَخْبَرَ عُمَرَ فَقَالَ يَارَبِّ مَا
آَلُوْا اِلاَّ مَا عَجَزْتُعَنْهُ، وَهَذَا اِسْنَادٌ صَحِيْحٌ. (الحافظ
ابن كثير، البداية والنهاية ٧/٩۲ وقال في جامع المسانيد ١/۲٣٣: اسناده جيد
قوي، وروى هذا الحديث ابن ابي خيثمة. انظر: الاصابة ٣/٤٨٤، والخليلي في
الارشاد ١/٣١٣ وابن عبد البر في الاستيعاب ۲/٤٦٤ وصححه الحافظ ابن حجر في “
فتح الباري “ ۲/٤٩٥.
“Al-Hafizh Abu Bakar al-Baihaqi
berkata, Abu Nashr bin Qatadah dan Abu Bakar al-Farisi mengabarkan
kepada kami, Abu Umar bin Mathar mengabarkan kepada kami, Ibrahim bin
Ali al-Dzuhli mengabarkan kepada kami, Yahya bin Yahya mengabarkan
kepada kami, Abu Muawiyah mengabarkan kepada kami, dari al-A’masy, dari
Abu Shalih, dari Malik al-Dar, bendahara pangan Khalifah Umar bin
al-Khaththab, bahwa musim paceklik melanda kaum Muslimin pada masa
Khalifah Umar. Maka seorang sahabat (yaitu Bilal bin al-Harits
al-Muzani) mendatangi makam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan
mengatakan: “Hai Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Allah untuk umatmu
karena sungguh mereka benar-benar telah binasa”. Kemudian orang ini
bermimpi bertemu dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan
beliau berkata kepadanya: “Sampaikan salamku kepada Umar dan beritahukan
bahwa hujan akan turun untuk mereka, dan katakan kepadanya
“bersungguh-sungguhlah melayani umat”. Kemudian sahabat tersebut datang
kepada Umar dan memberitahukan apa yang dilakukannya dan mimpi yang
dialaminya. Lalu Umar menangis dan mengatakan: “Ya Allah, saya akan
kerahkan semua upayaku kecuali yang aku tidak mampu”. Sanad hadits ini
shahih. (Al-Hafizh Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, juz 7, hal. 92.
Dalam Jami’ al-Masanid juz i, hal. 233, Ibn Katsir berkata, sanadnya
jayyid (baik). Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibn Abi Khaitsamah,
lihat al-Ishabah juz 3, hal. 484, al-Khalili dalam al-Irsyad, juz 1,
hal. 313, Ibn Abdil Barr dalam al-Isti’ab, juz 2, hal. 464 serta
dishahihkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, juz 2, hal.
495).
Apabila hadits di atas kita cermati
dengan seksama, maka akan kita pahami bahwa sahabat Bilal bin al-Harits
al-Muzani radhiyallahu ‘anhu tersebut datang ke makam Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam dengan tujuan tabarruk, bukan tujuan
mengucapkan salam. Kemudian ketika laki-laki itu melaporkan kepada
Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhu, ternyata Umar radhiyallahu ‘anhu tidak
menyalahkannya. Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhu juga tidak berkata
kepada laki-laki itu, “Perbuatanmu ini syirik”, atau berkata, “Mengapa
kamu pergi ke makam Rasul shallallahu alaihi wa sallam untuk tujuan
tabarruk, sedangkan beliau telah wafat dan tidak bisa bermanfaat
bagimu”. Hal ini menjadi bukti bahwa bertabarruk dengan para nabi dan
wali dengan berziarah ke makam mereka, itu telah dilakukan oleh kaum
salaf sejak generasi sahabat, tabi’in dan penerusnya.
[Oleh Muhammad Idrus Ramli, dalam bukunya "Pintar Berdebat Dengan Wahhabi"]
No comments:
Post a Comment