Masyarakat
muslim terutama yang berpegang kepada madzhab Syafi’i telah mengetahui
dan mengamalkan petunjuk dan ajaran para ulama bahwa sunnah ketika
mengucapkan Asyhadu allaa ilaaha illallah pada duduk tasyahhud atau tahiyyat untuk mengangkat jari telunjuknya apabila telah sampai pada illallah dalam syahadat dan tidak diturunkan jari telunjuknya sampai mengucapkan salam. Perlu diketahui yang disunnahkan hanyalah mengangkat jari telunjuknya saja tanpa tahrik (digerak-gerakkan) karena makruh hukumnya. Marilah kita ikuti dalil-dalilnya berikut ini :
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra.; “Jika
Rasulallah saw. duduk dalam tasyahhud, beliau meletakkan tangan kirinya
diatas lututnya yang kiri, dan meletakkan tangan kanannya pada lutut
yang kanan, seraya membuat (angka) lima puluh tiga sambil berisyarat
dengan telunjuknya”. (HR. Imam Muslim dalam Shohih-nya I/408).
Yang dimaksud dengan lima puluh tiga dalam hadits itu ialah menggenggam
tiga jari (jari tengah, jari manis dan kelingking) itulah angka tiga.
Sedangkan jari telunjuk dan ibu jari di julurkan sehingga membentuk
semacam lingkaran bundar yang mirip angka lima (angka bahasa arab), dengan demikian menjadilah semacam angka lima puluh tiga.
Dalam
satu riwayat seperti yang diriwayatkan Imam Muslim I/408 dari Ali bin
Abdurrahman Al-Mu’awi, dia mengatakan; “Abdullah bin Umar ra. melihat
aku bermain-main dengan kerikil dalam sholat. Setelah berpaling (selesai
sholat), beliau melarangku, seraya berkata; ‘Lakukanlah seperti apa yand dilakukan oleh Rasulallah itu’. Dia berkata; ‘Jika
Rasulallah saw. duduk dalam sholat beliau meletakkan tangan kanannya
pada paha kanannya seraya menggenggam semua jemarinya, dan mengisyaratkan (menunjukkan) jari yang dekat ibu jarinya ke kiblat. Beliau juga meletakkan tangan kirinya diatas paha kirinya’ ”. Al-Isyarah (mengisyaratkan) itu menunjukkan tidak adanya (perintah) menggerak-gerakkan, bahkan meniadakannya untuk tahrik.
Diriwayatkan dari Numair Al-Khuzai seorang yang tsiqah dan salah seorang anak dari sahabat ; “Aku
melihat Rasulallah saw. meletakkan dzira’nya [tangan dari siku sampai
keujung jari] yang kanan diatas pahanya yang kanan sambil mengangkat
jari telunjuknya dan mem- bengkokkannya [mengelukkannya] sedikit”. (HR.Ahmad III:471 ; Abu Dawud I:260 ; Nasa’i III:39 ; Ibn Khuzaimah dalam shohihnya I:354 dan penshohihannya itu ditetapkan oleh Ibn Hajar dalam Al-Ishabah no.8807 ; Ibn Hibban dalam As-Shohih V:273 ; Imam Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra II:131 serta perawi lainnya.
Diriwayatkan dari Ibnu Zubair bahwa “Rasulallah saw. berisyarat dengan telunjuk dan beliau tidak menggerak-gerakkannya dan pandangan beliau pun tidak melampaui isyaratnya itu”
(HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Hibban). Hadits ini merupakan
hadits yang shohih sebagaimana diterangkan oleh Imam Nawawi dalam
Al-Majmu’ jilid III:454 dan oleh sayyid Umar Barokat dalam Faidhul
Ilaahil Maalik jilid 1:125.
Diriwayatkan pula dari Abdullah bin Zubair ra. bahwa “Rasulallah saw.berisyarat dengan jarinya (jari telunjuknya) jika berdo’a dan tidak menggerak-gerakkannya”. (HR.Abu ‘Awanah dalam shohihnya
II:226 ; Abu Dawud I:260 ; Imam Nasa’i III:38 ; Baihaqi II:132 ;
Baihaqi dalam syarh As-Sunnah III:178 dengan isnad shohih).
Ada pun hadits yang menyebutkan Yuharrikuha (menggerak-gerakkannya) itu tidak kuat (laa tatsbut) dan merupakan riwayat syadz (yang aneh). Karena hadits mengenai tasyahhud dengan mengisyaratkan (menunjukkan) telunjuk itu serta meniadakan tahrik adalah riwayat yang sharih (terang-terangan) dan diriwayatkan oleh sebelas rawi tsiqah dan kesemuanya tidak menyebutkan adanya tahrik tersebut. Seseorang yang mengaku bahwa mutsbat (yang mengatakan ada) itu harus didahulukan (muqaddam) atas yang menafikan/meniadakannya, maka orang tersebut tidak memahami ilmu ushul. Karena kaidah ushul itu mempunyai kelengkapan yang tidak sesuai untuk dipakai dalam masalah itu.
Hadits-hadits lainnya yang tidak
menyebutkan adanya menggerak-gerakkan jari telunjuk itu menguatkan
keterangan dari hadits yang menafikannya. Dari hadits Ibnu Zubair
tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa: a). Sunnah mengangkat telunjuk
diketika tasyahhud. b) Nabi tidak menggerak-gerakkan telunjuknya dan pandangan Nabi terus tertuju kepada telunjuknya yang sedang berisyarat itu.
Alasan
yang mengatakan bahwa Rasulallah saw. tidak mengisyaratkan jemarinya
sejak awal tasyahhud tetapi ketika mengucapkan syahadat, berupa beberapa
dalil, antara lain: Hadits Wail bin Hujr, yang menyebutkan, “Dan
Rasulallah saw. menjadikan (meletakkan) sikunya yang kanan di atas,
lalu menggenggam dua jari dan beliau membuat suatu lingkaran, kemudian
mengangkat jari (telunjuk)nya”. Demikian menurut lafadh Al-Darimi. Sedangkan menurut lafadh Ibn Hibban dalam Shohihnya V:272,
“Dan beliau (saw.) mengumpulkan ibu jari dengan jari tengah dan
mengangkat jari yang didekatnya seraya berdo’a dengan (menunjukkan)nya”.
Sebagian orang menyangka bahwa tahliq (membuat lingkaran) itu maksudnya menggerak-gerakkan
telunjuk untuk membuat semacam lingkaran. Padahal sebenarnya yang
dimaksud tidak demikian. Membuat lingkaran itu maksudnya menjadikan jari
tengah dan ibu jari semacam lingkaran, lalu telunjuk diisyaratkan.
Menggerak-gerakkan jari makruh hukumnya:
Jumhur ulama Syafi’i memakruhkan menggerak-gerakkan telunjuk waktu tasyahhud, dalam Hasiyah al-Bajuri jilid 1:220: “Dan tidaklah boleh seseorang itu menggerak-gerakkan jari telunjuk- nya. Apabila digerak-gerakkan, maka makruh hukumnya
dan tidak membatalkan sholat menurut pendapat yang lebih shohih dan
dialah yang terpegang karena gerakan telunjuk itu adalah gerakan yang
ringan. Tetapi menurut satu pendapat; Batal sholat seseorang apabila
dia meng- gerak-gerakkan telunjuknya itu tiga kali berturut-turut
[pendapat ini bersumber dai Ibnu Ali bin Abi Hurairah sebagaimana
tersebut dalam Al-Majmu’ III/454]. Dan yang jelas bahwa khilaf [perbeda-
an) tersebut adalah selama tapak tangannya tidak ikut bergerak. Tetapi
jika tapak tangannya ikut bergerak maka secara pasti batallah
shalatnya”.
Imam Nawawi dalam Fatawa-nya halaman 54 dan dalam Syarh Muhadzdab-nya III/454 menyatakan makruhnya
menggerak-gerakkan telunjuk tersebut. Karena perbuatan tersebut
merupakan perbuatan sia-sia dan main-main disamping menghilangkan
kekhusyuan.
Dalam kitab Bujairimi Minhaj 1/218: “Tidak
boleh mentahrik jari telunjuk karena ittiba’ (mengikuti sunnah Nabi).
Jika anda berkata; ‘Sesungguhnya telah datang hadits yang shohih yang
menunjuk kepada pentahrikan jari telunjuk dan Imam Malik pun telah
mengambil hadits tersebut. Begitu pula telah beberapa hadits yang shohih
yang menunjuk kepada tidak ditahriknya jari telunjuk. Maka manakah yang
diunggulkan’? Saya menjawab: ‘Diantara yang mendorong Imam Syafi’i
mengambil hadits-hadits yang menunjuk kepada tidak ditahriknya jari
telunjuk adalah karena yang demikian itu dapat mendatangkan ketenangan
yang senantiasa dituntut keberada- annya didalam sholat”.
Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj II:80: “Tidak boleh mentahrik jari telunjuk diketika mengangkatnya karena ittiba’.
Dan telah shohih hadits yang menunjuk kepada pentahrikannya, maka demi
untuk menggabungkan kedua dalil, dibawalah tahrik itu kepada makna ‘diangkat’.
Terlebih lagi didalam tahrik tersebut ada pendapat yang menganggapnya
sebagai sesuatu yang haram yang dapat membatalkan sholat. Oleh karena
itu kami mengatakan bahwa tahrik dimaksud hukumnya makruh”.
Dalam kitab Mahalli 1/164: “Tidak
boleh mentahrik jari telunjuk karena berdasarkan hadits riwayat Abu
Dawud. Pendapat lain mengatakan; ‘Sunnah mentahrik jari telunjuk karena
berdasarkan hadits riwayat Baihaqi’, beliau berkata bahwa kedua hadits
itu shohih. Dan didahulukannnya hadits pertama yang menafikan tahrik
atas hadits kedua yang menetapkan tahrik adanya karena adanya beberapa
maslahat pada ketiadaan tahrik itu”.
Dalam kitab Syarqawi 1/210: “Mengangkat
telunjuk itu adalah dengan tanpa tahrik. Telah datang pula hadits yang
menunjuk adanya tahrik. Namun dalam kasus ini yang menafikan didahulukan
dari yang menetapkan. Berbeda dengan kaidah ushul Fiqih (bahwa yang
menetapkan didahulu- kan dari yang menafikan). Hal ini karena adanya
beberapa maslahat pada ketiadaan mentahrik itu yakni; ‘Bahwa yang
dituntut dalam sholat adalah tidak bergerak karena bergerak-gerak dapat
menghilangkan kekhusyu’an dan juga tahrik itu adalah sejenis perbuatan
yang tidak ada gunanya dan sholat haruslah terpelihara dari hal tersebut
selama itu memungkinkan. Oleh karena itu ada pendapat yang membatalkan
shalat karena melakukan tahrik walau pun pendapat ini dho’if”.
Dalil orang yang menggerak-gerakkan telunjuk dan Bantahannya:
- Orang yang mengatakan sunnah hukumnya menggerak-gerakkan telunjuk berdalil hadits riwayat Wa’il bin Hujrin
yang menerangkan tentang tata cara sholat Nabi. Riwayat yang dimaksud
ialah: “Kemudian Nabi mengangkat jari telunjuknya maka aku melihat
beliau menggerak-gerakkannya sambil berdo’a”. (HR.Nasa’i) Hadits ini
oleh sebagian madzhab Maliki dijadikan dalil untuk mensunnahkan tahrik
yakni menggerak-gerakkan telunjuk itu dengan gerakan yang sederhana
dimulai sejak awal tasyahhud hingga akhirnya. Dan gerakan tersebut
mengarah ke kiri dan ke kanan, bukan ke atas dan ke bawah (Al-Fighul
Islami 1/716).
- Mereka
juga berdalil dengan hadits dari Ibnu Umar yang menyatakan bahwa:
“Menggerak-gerakkan telunjuk diwaktu shalat dapat menakut-nakuti setan”.
Ini hadits dho’if karena hanya di riwayatkan seorang diri oleh Muhammad
bin Umar al-Waqidi ( Al-Majmu’ III/454 dan Al-Minhajul Mubin hal.35).
Ibn ‘Adi dalam Al-Kamil Fi Al-Dhu’afa VI/2247; “Menggerak-gerakkan jari (telunjuk) dalam sholat dapat menakut-nakuti setan” adalah hadits maudhu’ ”.
- Atau mereka berdalil dengan ucapan seorang Syeikh dalam kitabnya Sifat-sifat Sholat Rasulallah saw. ,khususnya halaman 158-159, mengemukakan sebuah hadits; “Beliau (saw.) mengangkat
jarinya (dan) menggerak-gerakkannya seraya berdo’a. Beliau bersabda;
‘Itu yakni jari sungguh lebih berat atau lebih keras bagi setan
daripada besi’ ”.
Padahal redaksi hadits yang sebenarnya tidak seperti yang disebutkan oleh Syeikh tersebut. Syeikh ini telah menyusun dua hadits yang berbeda dengan
menyusupkan kata-kata yang sebenarnya bukan dari hadits, supaya dia
mencapai kesimpulan yang dikehendakinya. Redaksi hadits yang sebenarnya
ialah seperti yang terdapat dalam Al-Musnad II:119, Al-Du’a karangan Imam Thabarani II:1087, Al-Bazzar dalam Kasyf Al-Atsar I:272 dan kitab hadits lainnya yang berbunyi: “Diriwayatkan dari Nafi’, bahwa Abdullah bin Umar ra., jika (melakukan) sholat ber- isyarat
dengan (salah satu) jarinya lalu diikuti oleh matanya, seraya berkata,
Rasullah saw. bersabda; ‘Sungguh itu lebih berat bagi setan daripada
besi’ “. Jadi dalam hadits tersebut tidak di sebutkan kata-kata Yuharrikuha (menggerak-gerakkannya) tetapi hanya disebutkan ‘berisyarat dengan jarinya’.
Tetapi
Syeikh ini telah berani melakukan penyelewengan terhadap hadits
(tahrif) sehingga dia mendapatkan apa yang dikehendaki meski pun dengan tadlis (menipu) dan tablis (menimbulkan
keraguan pada umat Islam). Al-Bazzar berkata; “Katsir bin Zaid
meriwayatkan secara sendirian (tafarrud) dari Nafi’, dan tidak ada
riwayat (yang diriwayatkan Katsir ini) dari Nafi’ kecuali hadits ini”.
Syeikh ini sendiri di kitab Shohihah-nya IV:328 mengatakan; ‘Saya berkata, Katsir bin Zaid adalah Al-Aslami yang dha’if atau lemah’!
- Hadits yang menyebutkan, ‘Sungguh ia (jari) itu lebih berat bagi setan daripada besi’,
sebenarnya tidak shohih dan ciri kelemahannya itu setan atau iblis itu
tidak bodoh sampai mau meletakkan kepalanya dibawah jari orang yang
menggerak-gerakkannya sehingga setan itu terpukul dan terpental. Orang
yang mengatakan bahwa ungkapan semacam itu dhahir maka dia salah dan tidak memahami ta’wil. Sedangkan riwayat Abdullah bin Zubair yang memuat kata-kata La Yuharrikuha (tidak menggerak-gerakkannya) itu adalah tsabit (kuat) tidak dinilai syadz dan hadits shohih lainnya pun menguatkannya seperti hadits riwayat Muslim dari Abdullah bin Umar ra. dan lain-lain.
Para Imam (Mujtahidin) pun tidak mengamalkan hadits yang mengisyaratkan tahrik
itu termasuk ulama dahulu dari kalangan Imam Malik (Malikiyyah) sekali
pun. Orang yang melakukan tahrik itu bukan dari madzhab Malikiyyah dan
bukan juga yang lainnya. Al-Hafidh Ibn Al-‘Arabi Al-Maliki dalam ‘Aridhat Al-Ahwadzi Syarh Turmduzi II/85 menyatakan; “Jauhilah olehmu menggerak-gerakkan jarimu dalam tasyahhud, dan janganlah berpaling keriwayat Al-‘Uthbiyyah, karena riwayat tersebut baliyyah (mengandung bencana)”.
Al-Hafidh Ibn Al-Hajib Al-Maliki dalam Mukhtashar Fiqh-nya mengatakan bahwa yang masyhur dalam madzhab Imam Malik adalah tidak menggerakkan telunjuk yang diisyaratkan itu.
Tiga imam madzhab lainnya yakni Hanafi, Syafi’i dan Hanbali tidak memakai dhohir hadits Wa’il bin Hujr tersebut sehingga dapat kita jumpai fatwa beliau bertiga tidak mensunnahkan tahrik. Hal ini disebabkan karena mensunnahkan tahrik berarti menggugurkan hadits Ibnu Zubair dan hadits-hadits lainnya yang menunjukkan Nabi saw. tidak menggerak-gerakkan telunjuk.
Imam
Baihaqi yang bermadzhab Syafi’i memberi komentar terhadap hadits Wa’il
bin Hujr sebagai berikut : “Terdapat kemungkinan bahwa yang dimaksud
dengan tahrik disitu adalah mengangkat jari telunjuk, bukan
menggerak-gerakkannya secara berulang sehingga dengan demikian tidaklah
bertentangan dengan hadits Ibnu Zubair”. Kesimpulan Imam Baihaqi adalah
hasil dari penerapan metode penggabungan dua hadits yang
berbeda karena hal tersebut memang memungkinkan. Kalau mengikuti
komentar Imam Baihaqi ini, memang semulanya jari telunjuk itu diam dan
ketika sampai pada hamzah illallah ia kita angkat, maka itu menunjukkan adanya penggerakan jari telunjuk tersebut, tetapi bukan digerak-gerakkan berulang-ulang sebagaimna pendapat sebagian orang.
Wallahu a’lam
(dikutip dari kitab Shalat Bersama Nabi saw.
oleh Hasan Bin ‘Ali As-Saqqaf [Syeikh Saqqaf, Jordania] cet. pertama,
1993 hal.187, diterjemahkan oleh Drs. Tarmana Ahmad Qosim dan dari buku
Argumentasi ulama Syafi’iyah oleh Ustadz H.Mujiburrahman)
https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=418197824859769&id=140014749377806
No comments:
Post a Comment