KEBOHONGAN WAHABI TENTANG TAHLILAN
by: Muhammad Idrus Ramli
WAHABI: “Mengapa Anda Tahlilan? Bukankah Imam al-Syafi’i melarang Tahlilan?”
SUNNI: “Setahu saya, Imam al-Syafi’i tidak pernah melarang Tahlilan.
Anda pasti berbohong dalam perkataan Anda tentang larangan Tahlilan oleh
Imam al-Syafi’i.”
WAHABI:
“Bukankah dalam kitab-kitab madzhab Syafi’i telah diterangkan, bahwa
selamatan selama tujuh hari kematian itu bid’ah yang makruh, dan beliau
juga berpendapat bahwa hadiah pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai
kepada mayit?”
SUNNI: “Nah, terus di mana letaknya Imam
al-Syafi’i melarang Tahlilan? Apakah seperti yang Anda jelaskan itu?
Kalau seperti itu maksud Anda, berarti Anda membesar-besarkan persoalan
yang semestinya tidak perlu dibesar-besarkan. “
WAHABI: “Kenapa begitu?”
SUNNI: “Madzhab Syafi’i dan beberapa madzhab lain memang memakruhkan
suguhan makanan oleh keluarga mayit kepada para pentakziyah. Hukum
makruh, artinya kan boleh dikerjakan, hanya kalau ditinggalkan
mendapatkan pahala. Kan begitu? Anda harus tahu, dalam beragama itu
tidak cukup mematuhi hukum dengan cara meninggalkan yang makruh. Tetapi
juga harus melihat situasi
dan adat istiadat masyarakat. Oleh karena
itu, apabila adat istiadat masyarakat menuntut melakukan yang makruh
itu, maka tetap harus dilakukan, demi menjaga kekompakan, kebersamaan
dan kerukunan dengan masyarakat sesama Muslim.”
WAHABI: “Kalau begitu, Anda lebih tunduk kepada hukum adat dari pada hukum agama.”
SUNNI: “Sepertinya Anda belum mengerti maksud perkataan saya.”
WAHABI: “Kok justru saya dianggap tidak mengerti?”
SUNNI; “Memang begitu kenyataannya. Anda belum faham. Agar Anda dapat
memahami dengan baik, sekarang saya bertanya kepada Anda. Madzhab apa
yang diikuti oleh kaum Wahabi di Saudi Arabia dalam bidang fiqih? “
WAHABI: “Yang jelas Madzhab Hanbali.”
SUNNI: “Bagus kalau begitu, Anda sedikit mengerti. Begini, di antara
kitab-kitab klasik yang ditulis oleh ulama madzhab Hanbali, adalah kitab
al-Adab al-Syar’iyyah, karya Ibnu Muflih al-Maqdisi. Kitab ini
diterbitkan oleh pemerintahan Saudi Arabia, dan didistribusikan secara
gratis kepada umat Islam. Dalam kitab tersebut terdapat keterangan
begini;
وَقَالَ ابْنُ عَقِيلٍ فِي الْفُنُونِ لَا يَنْبَغِي
الْخُرُوجُ مِنْ عَادَاتِ النَّاسِ إلَّا فِي الْحَرَامِ فَإِنَّ
الرَّسُولَ صلى الله عليه وسلم تَرَكَ الْكَعْبَةَ وَقَالَ (لَوْلَا
حِدْثَانُ قَوْمِكِ الْجَاهِلِيَّةَ) وَقَالَ عُمَرُ لَوْلَا أَنْ يُقَالَ
عُمَرُ زَادَ فِي الْقُرْآنِ لَكَتَبْتُ آيَةَ الرَّجْمِ. وَتَرَكَ
أَحْمَدُ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ لِإِنْكَارِ النَّاسِ لَهَا،
وَذَكَرَ فِي الْفُصُولِ عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ وَفَعَلَ
ذَلِكَ إمَامُنَا أَحْمَدُ ثُمَّ تَرَكَهُ بِأَنْ قَالَ رَأَيْت النَّاسَ
لَا يَعْرِفُونَهُ، وَكَرِهَ أَحْمَدُ قَضَاءَ الْفَوَائِتِ فِي مُصَلَّى
الْعِيدِ وَقَالَ: أَخَافُ أَنْ يَقْتَدِيَ بِهِ بَعْضُ مَنْ يَرَاهُ .
(الإمام الفقيه ابن مفلح الحنبلي، الآداب الشرعية، ٢/٤٧)
“Imam
Ibnu ‘Aqil berkata dalam kitab al-Funun, “Tidak baik keluar dari tradisi
masyarakat, kecuali tradisi yang haram, karena Rasulullah SAW telah
membiarkan Ka’bah dan berkata, “Seandainya kaummu tidak baru saja
meninggalkan masa-masa Jahiliyah…” Sayyidina Umar berkata: “Seandainya
orang-orang tidak akan berkata, Umar menambah al-Qur’an, aku akan
menulis ayat rajam di dalamnya.” Imam Ahmad bin Hanbal meninggalkan dua
raka’at sebelum maghrib karena masyarakat mengingkarinya. Dalam kitab
al-Fushul disebutkan tentang dua raka’at sebelum Maghrib bahwa Imam kami
Ahmad bin Hanbal pada awalnya melakukannya, namun kemudian
meninggalkannya, dan beliau berkata, “Aku melihat orang-orang tidak
mengetahuinya.” Ahmad bin Hanbal juga memakruhkan melakukan qadha’
shalat di mushalla pada waktu dilaksanakan shalat id (hari raya). Beliau
berkata, “Saya khawatir orang-orang yang melihatnya akan ikut-ikutan
melakukannya.” (Al-Imam Ibn Muflih al-Hanbali, al-Adab al-Syar’iyyah,
juz 2, hal. 47).
Dalam pernyataan di atas jelas sekali, tidak
baik meninggalkan tradisi masyarakat selama tradisi tersebut tidak
haram. Suguhan makanan kepada pentakziyah itu hanya makruh, tidak haram.
Karena hal itu sudah mentradisi, ya kita ikuti saja. Kata pepatah Arab,
tarkul-‘adah ‘adawah (meninggalkan adat istiadat dapat menimbulkan
permusuhan).”
WAHABI: “Tapi kan lebih baik tidak perlu suguhan makanan, agar tidak makruh.”
SUNNI: “Anda keras kepala. Tidak mengerti pembicaraan orang. Coba Anda
pahami perkataan Ibnu Aqil dalam al-Funun di atas. Di antara dasar
mengapa, kita dianjurkan mengikuti tradisi selama tidak haram, adalah
hadits yang berbunyi:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْها أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهَا أَلَمْ
تَرَيْ أَنَّ قَوْمَكِ لَمَّا بَنَوْا الْكَعْبَةَ اقْتَصَرُوا عَنْ
قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ أَلَا تَرُدُّهَا عَلَى
قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ لَوْلَا حِدْثَانُ قَوْمِكِ بِالْكُفْرِ
لَفَعَلْتُ. (رواه البخاري ومسلم)
“Dari Aisyah RA, bahwa
Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Apakah kamu tidak tahu, bahwa ketika
kaummu membangun Ka’bah, tidak sempurna pada pondasi yang dibangun oleh
Nabi Ibrahim AS.” Aku berkata: “Wahai Rasulullah, apakah tidak engkau
kembalikan Ka’bah kepada pondasi Nabi Ibrahim?” Beliau menjawab:
“Seandainya bukan karena kaummu baru meninggalkan kekufuran, pasti aku
lakukan.” HR al-Bukhari dan Muslim.
Dalam hadits di atas
dijelaskan, bahwa Rasulullah SAW tidak merekonstruksi Ka’bah agar sesuai
dengan Ka’bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim AS, hanya karena khawatir
menimbulkan fitnah, karena kaumnya baru meninggalkan masa-masa
Jahiliyah. Sampai sekarang Ka’bah yang ada, lebih kecil dari Ka’bah yang
dibangun oleh Nabi Ibrahim AS. Ka’bah saja, yang merupakan kiblat umat
Islam dalam menunaikan shalat dan ibadah haji, dibiarkan oleh Rasulullah
SAW, karena alasan tradisi, apalagi masalah kenduri tujuh hari, yang
hukumnya hanya makruh. Persoalan Ka’bah jelas lebih besar dari selamatan
Tahlilan.”
WAHABI: “Tapi dengan adanya selamatan selama tujuh
hari, itu berarti meninggalkan Sunnah atau melakukan makruh yang
disepakati.”
SUNNI: “Siapa bilang selamatan tujuh hari itu
makruh yang disepakati? Dalam masalah ini masih terdapat beberapa
pendapat. Berikut rinciannya:
Tidak semua kaum salaf
memakruhkan hidangan makanan yang dibuat oleh keluarga si mati untuk
orang-orang yang berta’ziyah. Dalam masalah ini ada khilafiyah di
kalangan mereka. Pandangan-pandangan tersebut antara lain sebagai
berikut ini:
Pertama, riwayat dari Khalifah Umar bin
al-Khatthab yang berwasiat agar disediakan makanan bagi mereka yang
berta’ziyah. Al-Imam Ahmad bin Mani’ meriwayatkan:
عَنِ
الْأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ كُنْتُ أَسْمَعُ عُمَرَ رضي الله عنه
يَقُوْلُ لاَ يَدْخُلُ أَحَدٌ مِنْ قُرَيْشٍ فِيْ بَابٍ إِلَّا دَخَلَ
مَعَهُ نَاسٌ فَلاَ أَدْرِيْ مَا تَأْوِيْلُ قَوْلِهِ حَتَّى طُعِنَ عُمَرُ
رضي الله عنه فَأَمَرَ صُهَيْبًا رضي الله عنه أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ
ثَلاَثًا وَأَمَرَ أَنْ يُجْعَلَ لِلنَّاسِ طَعَاماً فَلَمَّا رَجَعُوْا
مِنَ الْجَنَازَةِ جَاؤُوْا وَقَدْ وُضِعَتِ الْمَوَائِدُ فَأَمْسَكَ
النَّاسُ عَنْهَا لِلْحُزْنِ الَّذِيْ هُمْ فِيْهِ. فَجَاءَ الْعَبَّاسُ
بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ قَالَ : يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ مَاتَ رَسُول
اللَّه صلى الله عليه وسلم فَأَكَلْنَا بَعْدَهُ وَشَرِبْنَا، وَمَاتَ
أَبُو بَكْرٍ فَأَكَلْنَا بَعْدَهُ وَشَرِبْنَا، أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا
مِنْ هَذَا الطَّعَامِ، فَمَدَّ يَدَهُ وَمَدَّ النَّاس أَيْدِيَهُم
فَأَكَلُوا، فَعَرَفْتُ تَأَويل قَوله.
“Dari Ahnaf bin Qais,
berkata: “Aku mendengar Umar berkata: “Seseorang dari kaum Quraisy tidak
memasuki satu pintu, kecuali orang-orang akan masuk bersamanya.” Aku
tidak mengerti maksud perkataan beliau, sampai akhirnya Umar ditusuk,
lalu memerintahkan Shuhaib menjadi imam sholat selama tiga hari dan
memerintahkan menyediakan makanan bagi manusia. Setelah mereka pulang
dari jenazah Umar, mereka datang, sedangkan hidangan makanan telah
disiapkan. Lalu mereka tidak jadi makan, karena duka cita yang
menyelimuti. Lalu Abbas bin Abdul Mutthalib datang dan berkata: “Wahai
manusia, dulu Rasulullah SAW meninggal, lalu kita makan dan minum
sesudah itu. Lalu Abu Bakar meninggal, kita makan dan minum sesudahnya.
Wahai manusia, makanlah dari makanan ini.” Lalu Abbas menjamah makanan
itu, dan orang-orang pun menjamahnya untuk dimakan. Aku baru mengerti
maksud pernyataan Umar tersebut.”
Hadits tersebut
diriwayatkan oleh Ibnu Mani’ dalam al-Musnad, dan dikutip oleh al-Hafizh
Ibnu Hajar, dalam al-Mathalib al-‘Aliyah, juz 5 hal. 328 dan al-Hafizh
al-Bushiri, dalam Ithaf al-Khiyarah al-Maharah, juz 3 hal. 289.
Kedua, riwayat dari Sayyidah Aisyah, istri Nabi SAW ketika ada
keluarganya meninggal dunia, beliau menghidangkan makanan. Imam Muslim
meriwayatkan dalam Shahih-nya:
عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ
زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ
الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ
تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ
تَلْبِيْنَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيْدٌ فَصُبَّتْ التَّلْبِيْنَةُ
عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ مِنْهَا فَإِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ
صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ اَلتَّلْبِيْنَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ
الْمَرِيْضِ تُذْهِبُ بَعْضَ الْحُزْنِ. رواه مسلم.
“Dari Urwah,
dari Aisyah, istri Nabi SAW, bahwa apabila seseorang dari keluarga
Aisyah meninggal, lalu orang-orang perempuan berkumpul untuk
berta’ziyah, kemudian mereka berpisah kecuali keluarga dan orang-orang
dekatnya, maka Aisyah menyuruh dibuatkan talbinah (sop atau kuah dari
tepung dicampur madu) seperiuk kecil, lalu dimasak. Kemudian dibuatkan
bubur. Lalu sop tersebut dituangkan ke bubur itu. Kemudian Aisyah
berkata: “Makanlah kalian, karena aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:
“Talbinah dapat menenangkan hati orang yang sakit dan menghilangkan
sebagian kesusahan.” (HR. Muslim [2216]).
Dua hadits di atas
mengantarkan pada kesimpulan bahwa pemberian makanan oleh keluarga duka
cita kepada orang-orang yang berta’ziyah tidak haram. Khalifah Umar
berwasiat, agar para penta’ziyah diberi makan. Sementara Aisyah, ketika
ada keluarganya meninggal, menyuruh dibuatkan kuah dan bubur untuk
diberikan kepada keluarga, orang-orang dekat dan teman-temannya yang
sedang bersamanya. Dengan demikian, tradisi pemberian makan kepada para
penta’ziyah telah berlangsung sejak generasi sahabat Nabi SAW.
Ketiga, tradisi kaum salaf sejak generasi sahabat yang bersedekah
makanan selama tujuh hari kematian untuk meringankan beban si mati.
Dalam hal ini, al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam kitab
al-Zuhd:
عَنْ سُفْيَانَ قَالَ قَالَ طَاوُوْسُ إِنَّ الْمَوْتَى
يُفْتَنُوْنَ فِيْ قُبُوْرِهِمْ سَبْعاً فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ
يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ الْأَياَّمَ.
“Dari Sufyan berkata:
“Thawus berkata: “Sesungguhnya orang yang mati akan diuji di dalam kubur
selama tujuh hari, karena itu mereka (kaum salaf) menganjurkan sedekah
makanan selama hari-hari tersebut.”
Hadits di atas diriwayatkan
al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam al-Zuhd, al-Hafizh Abu Nu’aim dalam
Hilyah al-Auliya’ (juz 4 hal. 11), al-Hafizh Ibnu Rajab dalam Ahwal
al-Qubur (32), al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Mathalib al-‘Aliyah (juz 5
hal. 330) dan al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi (juz 2 hal.
178).
Menurut al-Hafizh al-Suyuthi, hadits di atas diriwayatkan
secara mursal dari Imam Thawus dengan sanad yang shahih. Hadits
tersebut diperkuat dengan hadits Imam Mujahid yang diriwayatkan oleh
Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur dan hadits Ubaid bin Umair yang
diriwayatkan oleh Imam Waki’ dalam al-Mushannaf, sehingga kedudukan
hadits Imam Thawus tersebut dihukumi marfu’ yang shahih. Demikian
kesimpulan dari kajian al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi.
Tradisi bersedekah kematian selama tujuh hari berlangsung di Kota
Makkah dan Madinah sejak generasi sahabat, hingga abad kesepuluh
Hijriah, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh al-Suyuthi.
Keempat, pendapat Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki, bahwa
hidangan kematian yang telah menjadi tradisi masyarakat dihukumi jaiz
(boleh), dan tidak makruh. Dalam konteks ini, Syaikh Abdullah al-Jurdani
berkata:
يَجُوْزُ مِنْهُ مَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ عِنْدَ
الْإِماَمِ مَالِكٍ كَالْجُمَعِ وَنَحْوِهَا وَفِيْهِ فُسْحَةٌ كَمَا
قَالَهُ الْعَلاَّمَةُ الْمُرْصِفِيُّ فِيْ رِسَالَةٍ لَهُ.
“Hidangan kematian yang telah berlaku menjadi tradisi seperti tradisi
Juma’ dan sesamanya adalah boleh menurut Imam Malik. Pandangan ini
mengandung keringanan sebagaimana dikatakan oleh al-Allamah al-Murshifi
dalam risalahnya.” (Syaikh Abdullah al-Jurdani, Fath al-‘Allam Syarh
Mursyid al-Anam, juz 3 hal. 218).
Berdasarkan paparan di atas,
dapat kita simpulkan bahwa hukum memberi makan orang-orang yang
berta’ziyah masih diperselisihkan di kalangan ulama salaf sendiri antara
pendapat yang mengatakan makruh, mubah dan Sunnat. Di kalangan ulama
salaf tidak ada yang berpendapat haram. Bahkan untuk selamatan selama
tujuh hari, berdasarkan riwayat Imam Thawus, justru dianjurkan oleh kaum
salaf sejak generasi sahabat dan berlangsung di Makkah dan Madinah
hingga abad kesepuluh Hijriah.
Nah, dengan demikian, hukum
suguhan makanan sebenarnya masih diperselisihkan di kalangan ulama.
Kalau Anda kaum Wahabi terus memerangi suguhan makanan dalam acara tujuh
hari, justru Anda yang melanggar hukum agama.”
WAHABI: “Kok justru kami yang melanggar hukum agama?”
SUNNI: “Ya betul. Dalam kaedah fiqih disebutkan, laa yunkaru
al-mukhlatafu fiih wa innamaa yunkaru al-mujma’u ‘alaih (tidak boleh
mengingkari hukum yang diperselisihkan di kalangan ulama. Akan tetapi
hanya hukum yang disepakati para ulama yang harus diprotes/ditolak).”
WAHABI: “Lalu bagaimana dengan pengiriman hadiah pahala bacaan al-Qur’an kepada mayit? Bukankah Imam al-Syafi’i melarang?”
SUNNI: “Imam al-Syafi’i tidak melarang apalagi mengharamkan. Beliau
hanya berpendapat bahwa pengiriman hadiah pahala bacaan al-Qur’an
menurut beliau tidak sampai. Sementara menurut Imam Abu Hanifah, Malik
dan Ahmad bin Hanbal, dikatakan sampai. Banyak juga pengikut madzhab
Syafi’i yang berpendapat sampai. Sedangkan pengiriman hadiah pahala
selain al-Qur’an seperti sedekah, istighfar, shalawat, tahlil dan
tasbih, semua ulama sepakat sampai. Jadi masalah ini persoalan kecil
yang tidak perlu dibesar-besarkan.
Dan perlu Anda ketahui,
bahwa meskipun Imam al-Syafi’i berpendapat tidak sampai tentang pahala
al-Qur’an, beliau menganjurkan membaca al-Qur’an di kuburan seseorang,
agar mendapatkan barokahnya bacaan al-Qur’an. Anda harus tahu masalah
ini.”
WAHABI: “Mengapa kalian tidak konsisten dengan madzhab Syafi’i, dan tidak usah Tahlilan?”
SUNNI: “Anda benar-benar bodoh. Imam al-Syafi’i tidak melarang
Tahlilan. Sudah saya katakan berkali-kali. Dan anda juga bodoh, bahwa
dalam bermadzhab, tidak berarti harus mengikuti semua pendapat Imam
Madzhab secara keseluruhan. Tetapi mengikuti pendapat Imam Madzhab yang
kuat dalilnya. Dalam madzhab Syafi’i ada kaedah, apabila pendapat lama
Imam al-Syafi’i (Qaul Qadim) bertentangan dengan pendapatnya yang baru
(Qaul Jadid), maka yang diikuti adalah Qaul Jadid. Hanya dalam 12
masalah, para ulama mengikuti Qaul Jadid, karena dalilnya lebih kuat.
Anda ini lucu, katanya tidak taklid kepada ulama, semata-mata mengikuti
al-Qur’an dan Sunnah, tapi Anda memaksa kami meninggalkan Tahlilan,
dengan alasan Imam kami melarang Tahlilan.”
WAHABI: “Menurut
salah seorang ustadz kami (Firanda), riwayat dari Khalifah Umar, tentang
suguhan makanan oleh keluarganya kepada para pentakziyah, adalah
dha’if. Mengapa Anda sampaikan?”
SUNNI: “Kami pengikut ahli
hadits dan Ahlussunnah Wal-Jama’ah, bukan pengikut Wahabi seperti Anda.
Coba Anda perhatikan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal:
إذا روينا
عن رسول الله صلى الله عليه و سلم في الحلال والحرام والسنن والأحكام
تشددنا في الأسانيد وإذا روينا عن النبي صلى الله عليه و سلم في فضائل
الأعمال وما لا يضع حكما ولا يرفعه تساهلنا في الأسانيد
Dalam
pernyataan tersebut, yang diperketat dalam penerimaan riwayat itu, kalau
berupa hadits dari Rasulullah SAW. Berarti kalau bukan hadits Nabi SAW,
seperti atsar Khalifah Umar, tidak perlu diperketat. Tolong Anda fahami
dengan baik. Anda tahu Syaikh al-Albani?”
WAHABI: “Ya, kami tahu. Menurut kami beliau ulama besar dalam bidang hadits. Kenapa dengan Syaikh al-Albani?”
SUNNI: “Al-Albani mengutip perkataan Imam Ahmad bin Hanbal dalam sebagian kitabnya:
لا ينبغي لفقيه أن يحمل الناس على مذهبه
“Tidak sebaiknya bagi seorang ahli fiqih, memaksa orang lain mengikuti madzhabnya.”
Jadi kalau Anda mengakui al-Albani sebagai panutan Wahabi, Anda tidak
perlu memaksa umat Islam yang memang bermadzhab Syafi’i, untuk mengikuti
ajaran Wahabi yang Anda ikuti.”
Seorang Muslim Yang Belajar Islam Langsung Dari Al-Qur'an Dan Hadits Pastilah Seorang Ahli Bid'ah Sayyi'ah. Sebab Rasulullah Telah Berwasiat untuk Berpegang Teguh Pada Alqur-an dan As-Sunnah Dengan Mengikuti Pemahaman Para Sahabat, Tabi'in, Tabi'ittabi'in. Bukan Pemahaman Diri Sendiri. Dan Beruntunglah Yang Bermadzhab Hanafi, Maliki, dan Syafi'i Yang Merupakan Imam Dari Kalangan Tabi'in dan Tabi'ittabi'in
bagus, seb pedoman bagi melaksanakan
ReplyDeleteAbdullah : argumen sunny siiip+mantap
ReplyDeleteAbdullah : argumen sunni mantap bnget dech..,,
ReplyDelete