Kedatangan
Nabi Saw ke Madinah tidak hanya sebagai orang asing yang hijrah dari
tanah kelahirannya. Tapi sekaligus menempatkan beliau sebagai pemimpin
di kota Hijaz tersebut. Keputusan penduduk Madinah menyerahkan jabatan
ini kepada Nabi Saw tidak dilakukan secara spontan, melaikan melalui
proses panjang yang bermuara pada peristiwa tiga tahun sebelumnya,
ketika sejumlah tokoh Khazraj menyatakan masuk Islam di Mekah.
Menurut riwayat Ibnu Ishaq dalam as-Sirah an-Nabawiyyah,
ada enam tokoh muda Khazraj yang ditemui Nabi Saw pada musim haji tahun
3 sebelum hijrah. Mereka adalah As`ad bin Zurarah, `Auf bin Harits,
Rafi` bin Malik, Quthbah bin `Amir, `Uqbah bin `Amir, dan Jabir bin
Abdullah. Setelah berbincang dengan Nabi Saw, merakapun menyatakan diri
memeluk Islam dengan sangat antusias. Bagi mereka, menerima Islam tidak
hanya menghapus dahaga spiritual semata, tapi juga mengembangkan harapan
yang sangat besar kepada sosok Nabi Saw dan ajarannya, agar menjadi
unsur pemersatu bagi seluruh kelompok masyarakat di Madinah yang telah
sekian generasi tercabik-cabik oleh permusuhan dan dendam.
Harapan
ini tampak jelas dalam pernyataan mereka kepada Nabi Saw, yang masih
dituturkan Ibnu Ishaq, “Kami berasal dari satu kaum yang telah tenggelam
dalam permusuhan dan keburukan yang tiada taranya. Kami berharap Allah
akan mempersatukan mereka karenamu. Kami akan kembali untuk mengajak
mereka menerimamu sebagai pemimpin dan menyampaikan agama yang baru kami
peluk ini kepada mereka. Jika Allah mempersatukan mereka dengan agama
ini, maka pasti tidak orang yang lebih kuat darimu.”
Peristiwa
inilah yang melatari penyebaran Islam begitu massif di Madinah dan
mendorong terjadinya bai`at `Aqabah pertama dan kedua di Mina. Aspek
politik dalam bai`at tersebut sangat kental, ketika tokoh-tokoh Khazraj
di atas juga menyertakan tokoh-tokoh Aus dalam bai`at. Dengan
bertemunya pandangan dua klan terkuat di Madinah tersebut, berarti
kedatangan Nabi Saw sebagai pemimpin baru di Madinah hanya soal waktu.
Keputusan
Aus dan Khazraj menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada Nabi Saw tidak
dapat dibantah siapapun, termasuk Yahudi. Meski jumlah Yahudi di Madinah
kala itu cukup banyak dan kekuatannya tidak bisa dipandang sebelah
mata, tapi otoritas tertinggi di Madinah tetap dipegang bangsa Arab yang
diwakili Aus dan Khazraj. Dua klan tersebut dapat membuat
keputusan-keputusan strategis menyangkut kota Madinah tanpa khawatir
mendapat perlawanan dari kaum Yahudi (Dr. Ahmad Ibrahim asy-Syarif, Makkah wa al-Madinah fi al-Jahiliyyah wa `Ahd ar-Rasul, h. 379).
Di
sisi lain, tampaknya di masa awal kedatangan Nabi Saw ke Madinah, kaum
Yahudi masih menaruh harapan beliau adalah sosok yang ditunggu-tunggu
mereka selama ini, sebagai juru selamat yang akan mengangkat kejayaan
bangsa Yahudi. Bagaimanapun, Yahudi beranggapan Nabi Saw lebih dekat
kepada tradisi mereka sebagai Ahli Kitab ketimbang bangsa Arab secara
umum yang musyrik. Ini terbukti dari sikap beberapa tokoh Yahudi semisal
Huyay bin Akhthab dan Abu Yasir yang berupaya menyelidiki keadaan Nabi
Saw setibanya beliau di Madinah.
Di
tengah kondisi Madinah yang cukup akomodatif inilah, Nabi Saw
menetapkan perangkat-perangkat dasar untuk mewujudkan kehidupan yang
harmonis bagi seluruh unsur masyarakat Madinah. Maka lahirlah Shahifah al-Madinah atau Piagam Madinah yang menurut Dr. M Hamidullah merupakan konstitusi negara tertulis yang pertama di dunia (the first written constitution in the world).
Piagam Madinah menjelaskan bentuk negara, mengatur hubungan
antarkelompok masyarakat, hak dan kewajibannya kepada negara, kehidupan
beragama, asas peradilan dan sumber hukum, dan lain sebagainya.
Selain mengejawantahkan konsep kenegaraan baru berupa al-ummah al-muslimah
(umat muslim), isu kemajemukan tampaknya menjadi sorotan utama Piagam
Madinah. Terkait kaum Yahudi, berdasarkan susunan Dr. Hamidullah, dari
47 pasal Piagam Madinah, terdapat sekitar 24 pasal yang menyebut kaum
Yuhudi. Pasal-pasal tersebut mencakup beragam isu, di antaranya status
kewarganegaraan, kebebasan beragama, tanggung jawab bersama dalam bidang
sosial, ekonomi dan keamanan, kebebasan berpendapat, dan keadilan.
Pengakuan
Nabi Saw kepada kaum Yahudi sebagai bagian dari masyarakat Madinah
dinyatakan dengan sangat jelas. Berdasarkan teks Piagam Madinah yang
diriwayatkan Ibnu Ishaq dalam as-Sirah an-Nabawiyyah, jilid 2 h. 94-96, Nabi Saw menyatakan, “wa inna yahuda bani `auf ummatun ma`al mu’minin
(sesungguhnya Yahudi Bani `Auf adalah satu umat bersama kaum Mukmin).”
Dengan pengakuan ini, otomatis kaum Yahudi memperoleh hak-hak selayaknya
warga negara. Salah satunya yang terpenting adalah hak kebebasan
beragama, “lil yahudi dinuhum wa lil muslimin dinuhum, mawalihim wa anfusuhum
(kaum Yahudi menjalankan agamanya sendiri, sebagaimana kaum Muslim juga
menjalankan agamanya sendiri. Ini berlaku bagi orang-orang yang terikat
hubungan dengan Yahudi dan diri Yahudi sendiri).”
Dengan
adanya jaminan konstitusi terhadap kebebasan beragama ini, kaum Yahudi
di Madinah dapat menjalankan kegiatan keagamaan dengan tenang di
lingkungannya. Begitu juga dalam bidang pendidikan, sekolah-sekolah
agama Yahudi yang disebut Bayt al-Midras beraktivitas sebagaimana
biasa, bahkan semakin giat dari sebelumnya karena terpacu dengan
kehadiran Islam di Madinah. Ibnu Ishaq menyebutkan, Rasulullah Saw
pernah berkunjung dan masuk ke sekolah Yahudi untuk berdialog dengan
para Ahbar
(pemuka Yahudi). Begitu juga Abu Bakar, dikabarkan pernah masuk ke
dalam Midras dan “mendapati banyak sekali orang di sana” (Jilid 2 h. 129
dan 134).
Terkait
dengan keamanan kota Madinah, kaum Muslim dan Yahudi harus bahu-membahu
mewujudkannya. Kaum Muslim tidak akan membiarkan Yahudi diserang musuh
dari luar, dan begitu juga sebaliknya. Dalam teks Piagam Madinah, Nabi
Saw menyatakan, “wa inna baynahum an-nashr `ala man dahama Yatsrib (kaum Muslim dan kaum Yahudi saling menolong dalam mempertahankan Madinah dari serangan pihak luar).” Karena
itu, baik Muslim maupun Yahudi sama-sama berkewajiban menanggung beban
biaya perang untuk mempertahankan Madinah dari serangan musuh, “wa innal yahuda yunfiqun ma`al mu’minin ma damu muharabin (sesunguhnya kaum Yahudi dan kaum Mukmin sama-sama menanggung biaya perang bila diserang musuh).”
Nabi
Saw juga mengakui hak kaum Yahudi membangun hubungan baik dengan pihak
luar, berupa suaka politik dan perlindungan dagang yang dikenal dengan
istilah al-jiwar, kecuali kepada Quraisy -yang merupakan musuh laten kaum Muslim- dan para pendukungnya, “wa innahu la tujaru Quraysy wa la man nasharaha (sesungguhnya suaka tidak boleh diberikan kepada Quraisy ataupun pihak-pihak yang mendukungnya).”
Semua
hak dan kewajiban yang diatur dalam Piagam Madinah tidak hanya berlaku
bagi kaum Yahudi, melainkan juga bagi orang-orang yang terikat hubungan
dan kontrak dengan mereka, meski bukan Yahudi, “wa inna bithanatal yahudi ka anfusihim (sesungguhnya orang-orang yang terikat hubungan dengan Yahudi mendapatkan seperti yang didapat kaum Yahudi).”
Dari
penjelasan sebagian pasal Piagam Madinah yang menyangkut kaum Yahudi,
jelaslah bahwa sejak awal Rasulullah Saw menghendaki terbangunnya
tatanan kehidupan masyarakat yang harmonis di Madinah. Pendekatan
persuasif ini tampak semakin jelas, ketika Nabi Saw menyebut kaum Yahudi
(bersama Nasrani) sebagai Ahl al-Kitab. Dengan sebutan ini, maka dampaknya antara lain,
lelaki Muslim masih dibolehkan menikahi wanita Yahudi dan daging hewan
sembelihan Yahudi halal dimakan oleh Muslim. Suatu kondisi yang sama
sekali tidak berlaku bagi kaum musyrik dan penganut agama-agama lain,
meski substansi sikap mereka terhadap wahyu Islam sama, yaitu menolak
atau kafir.
Dalam
muamalat, jual-beli dan pelbagai bentuk transaksi lainnya yang tidak
bertentangan dengan syari`at Islam, kaum Muslim juga dibolehkan
melakukannya dengan Yahudi. Faktanya, setelah kedatangan Nabi Saw ke
Madinah, kaum Muslim tetap melakukan transaksi di pasar Yahudi.
Abdurraman bin `Auf RA, seorang sahabat terkemuka, memulai
peruntungannya di hari-hari pertama keberadaannya di Madinah dengan
berdagang di pasar Bani Qainuqa`, milik Yahudi (Shahih al-Bukhari, no. 3780). Ali bin Abu Thalib RA, menantu Nabi Saw, sebagian persiapan walimahnya ditangani oleh seorang dari Bani Qainuqa` (Shahih Muslim, no. 5242). Bahkan, Nabi Saw menggadaikan baju perangnya dengan 30 Sha` gandum kepada seorang Yahudi Bani Zhafar bernama Abu Syahm (Ibnu Hajar, Fathul Bari, Jilid 7 h. 461).
Jaminan
konstitusi dan pendekatan-pendekatan persuasif yang dilakukan Nabi Saw
jelas menunjukkan toleransi yang begitu tinggi kepada kaum Yahudi.
Selain mengungkap keinginan beliau Saw yang begitu besar untuk membangun
masyarakat yang harmonis. Namun sikap Yahudi Madinah justru sepenuhnya
bertolak belakang. Meski sempat lunak di permulaan, tapi dalam
perkembangannya, sikap Yahudi semakin keras dan kasar. Mereka tidak
hanya menghina dan membangkang, tapi juga menjurus kepada perlawanan
fisik.
Seiring
perjalanan waktu, kaum Yahudi melihat masyarakat Muslim sebagai ancaman
bahkan musuh yang harus disingkirkan. Pelbagai kasus ketegangan yang
dipicu Yahudi bermunculan, sejak bulan-bulan pertama keberadaan Nabi Saw
di Madinah. Kasus Syas bin Qais, misalnya. Sesepuh Yahudi ini tidak
dapat menahan gejolak dengkinya ketika melihat sekumpulan pemuka Aus dan
Khazraj bercengkrama dengan hangat dalam sebuah pertemuan. Melihat
keadaan tersebut ia membatin, “Para pemuka Bani Qilah kini telah bersatu
di negeri ini. Demi Allah, jika para pemuka mereka terus bersatu, maka
kami tidak akan pernah hidup tenang.” Dengan bantuan seorang pemuda
Yahudi, Syas bin Qais kemudian menyulut api dendam lama yang melibatkan
Aus dan Khazraj, sehingga nyaris saja terjadi baku hantam antar-para
pemuka dua klan Anshar itu, kalau saja Nabi Saw tidak segera datang dan
melerai (Ibnu Ishaq, Jilid 2 h. 131).
Kasus-kasus
inidividu Yahudi yang sengaja membuat kericuhan dan menyebarkan
permusuhan sangat banyak. Seperti kasus Fanhash, seorang Ahbar Yahudi,
yang menghina Allah dan al-Qur’an di hadapan Abu Bakar RA (Ibnu Ishaq,
Jilid 2 h. 134); Ka`ab bin al-Asyraf, pemuka Bani Nadhir, merusak
kios-kios di pasar baru milik kaum Muslim (as-Samhudi, Wafa al-Wafa, Jilid 1 h.
539); Sallam bin Misykam, pemuka Bani Nadhir, sempat menjamu Abu Sufyan
di rumahnya dalam perang Sawiq dan memberi informasi penting tentang
kaum Muslim (Ibnu Ishaq, Jilid 3 h. 4).
Sikap
permusuhan yang digalang para pemuka agama dan tokoh masyarakat Yahudi
ini semakin dipertajam oleh para penyair. `Ashma binti Marwan, Abu
`Afak, dan Ka`ab bin al-Asyraf adalah penyair-penyair terkemuka Yahudi
yang hampir tidak pernah berhenti menggunakan kekuatan lisannya untuk
melontarkan bait-bait yang menghina Islam dan sosok Nabi Saw.
Kedudukan
penyair di zaman itu sangat krusial. Selain menjadi salah satu kriteria
kehormatan paling tinggi, bait-bait puisi yang hebat adalah media yang
sangat efektif untuk membangun stigma dan mempengaruhi opini publik.
Karena itu, Nabi Saw menghadapi para penyair ini dengan sikap yang
sangat tegas. Nabi Saw meminta langsung kepada para sahabat untuk
membunuh ketiganya dalam kesempatan yang berbeda. Terlebih Ka`ab bin
al-Asyraf yang menyampaikan simpatinya secara langsung dan terbuka
kepada Quraisy setelah kekalahan mereka di Badar. Bahkan, ia terus
mengobarkan dendam agar segera bangkit dan menyiapkan perang besar
melawan Madinah (Prof Dr Muhammad bin Faris, an-Naby wa Yahud al-Madinah, h. 101-120).
Permusuhan
Yahudi semakin meluas dan dilakukan berkelompok. Terutama setelah kaum
Muslim menang dalam perang Badar. Berawal dari kasus pelecehan terhadap
seorang wanita Muslim di pasar Bani Qainuqa` yang berujung dengan
terbunuhnya pemuda Muslim yang membelanya, Bani Qainuqa` menggalang
solidaritas dan menantang secara terbuka, “Hai Muhammad, jangan lekas
bangga hanya karena berhasil membunuh beberapa orang Quraisy. Mereka itu
hanyalah orang-orang liar yang tidak pandai berperang. Demi Allah, jika
kami yang engkau perangi, maka engkau akan merasakan kehebatan kami.
Engkau tidak akan pernah merasakan lawan sekuat kami!” (Ibnu Ishaq,
Jilid 2 h. 129).
Bani
Nadhir tidak lebih baik. Selain menipu Nabi Saw dengan berpura-pura
bersedia turut membayar tebusan korban Bani `Amir, sebagai aliansi lama
mereka, para pemuka klan Yahudi ini kemudian merencanakan pembunuhan
Nabi Saw yang ketika itu sedang berada di pemukiman mereka. Kasus Bani
Quraizhah bisa dikatakan yang paling parah. Klan terakhir Yahudi ini
berkhianat dengan mendukung Ahzab dalam perang Khandaq, di saat kaum Muslim sedang menghadapi 10.000 pasukan Ahzab dan penggembosan
kaum Munafik. Menghadapi permusuhan kolektif ini, Nabi Saw tidak punya
pilihan selain menghukum mereka secara kolektif. Bani Qainuqa` dan Bani
Nadhir diusir paksa dari Madinah. Sedang Bani Quraizhah, semua lelakinya
yang sanggup berperang dibunuh secara massal di Madinah.
Nabi
Saw mengajarkan dan mengamalkan toleransi yang sangat terbuka dan
terukur. Tapi karakter Yahudi yang eksklusif dan rasis memunculkan rasa
tidak nyaman dengan keberadaan unsur kuat di luar mereka. Kaum Yahudi
melihat kemajuan orang lain adalah ancaman yang dapat memusnahkan mereka
setiap saat. Dari situlah permusuhan Yahudi bermula. Di sisi lain,
sikap tegas Nabi Saw terhadap kejahatan Yahudi tidak berarti
mengindikasikan sikap sentimentil dan permusuhan kepada suatu etnik.
Shafiyyah binti Huyay, putri pemuka Bani Nadhir, dipersuntingnya setelah
menjadi Muslimah. Dan, bukankah ketika wafat, menurut riwayat
al-Bukhari, baju perang Nabi Saw masih tergadai kepada seorang Yahudi?
Kesimpulan:
Rasululullah berperang melawan Yahudi bukan karena ke-yahudi-annya,
tapi karena ancaman dan pengkhianatannya yang membahayakan Kaum
Muslimin. Rasulullah tidak mengajarkan kebencian kepada Yahudi.
No comments:
Post a Comment