Suatu ketika Rasulullah bersabda kepada para sahabatnya, ”Tidak akan masuk surga seorang yang di hatinya terdapat sifat riya”. Kemudian ada yang bertanya tentang seorang yang memakai pakaian yang indah, sandal yang mewah dan surban yang mahal. Apakah orang itu telah riya karena berpenampilan melebihi yang lainnya. Rasul SAW kemudian menjawab, ”Belum tentu, karena Allah SWT itu indah dan senang pada keindahan. Yang dimaksud riya adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia. (HR. Bukhari Muslim)
Beberapa hadits ini menjadi bukti bahwa
Rasulullah SAW sangat mendambakan umatnya untuk tampil dan terlihat
indah, rapi dan bersih. Memperhatikan penampilan sehingga tidak ada
halangan banginya untuk dapat bergaul dengan semua kalangan masyarakat.
Yang barakibat terjaganya citra agama Islam sebagai agama yang bersih
dan anggun.
Dalam kehidupan sehari-hari, anjuran
tersebut bersifat fleksibel dan relatif. Disesuaikan dengan kondisi dan
situasi serta profesi sehari-hari. Tidak terpaku pada satu model saja
asalkan tidak dimaksudkan untuk sekedar bergaya, pamer kekayaan atau
menyombongkan diri. (Etika Bergaul di tengah Gelombang Perubahan, kajian
kitab kuning, 25-26) Jika di dalam teks-teks keagamaan secara tidak
langsung ditemukan larangan atau anjuran untuk berhias dengan model
tertentu, maka hal itu harus dilihat dalam konteks yang lebih luas.
Tidak hanya terpaku kepada pengertian secara harfiyah saja.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا
اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا حَجَّ أَوْ
اعْتَمَرَ قَبَضَ عَلَى لِحْيَتِهِ فَمَا فَضَلَ أَخَذَه صحيح البخاري،
5442)
Dari Ibn Umar dari Nabi Muhammad SAW
bersabda, “Tampillah kalian berbeda dengan orang-orang musyrik,
peliharalah jenggot dan cukurlah kumis”. Dan ketika Ibn Umar
melaksanakan haji atau umrah, beliau memegang jenggotnya, dan ia pun
memotong bagian yang melebihi genggamannya” (Shahih al-Bukhari, 5442)
Walaupun hadits ini menggunakan kata
perintah, namun tidak serta merta, kata tersebut menunjukkan kewajiban
memanjangkan jenggot serta kewajiban mencukur kumis. Kalangan
Syafi’iyyah mengatakan bahwa perintah itu menunjukkan sunnah. Perintah
itu tidak menunjukkan sesuatu yang pasti atau tegas (dengan bukti Ibnu
Umar sebagai sahabat yang mendengar langsung sabda Nabi Muhammad Saw
tersebut masih memotong jenggot yang melebihi genggamannya). Sementara
perintah yang wajib itu hanya berlaku manakala perintahnya tegas.
Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari
menyatakan mencukur jenggot adalah makruh khususnya jenggot yang tumbuh
pertama kali. Karena jenggot itu dapat menambah ketampanan dan membuat
wajah menjadi rupawan. (Asnal Mathalib, juz I hal 551)
Dari alasan ini sangat jelas bahwa
alasan dari perintah Nabi Muhammad SAW itu tidak murni urusan agama,
tetapi juga terkait dengan kebiasaan atau adat istiadat. Dan semua tahu
bahwa jika suatu perintah memiliki keterkaitan dengan adat, maka itu
tidak bisa diartikan dengan wajib. Hukum yang muncul dari perintah itu
adalah sunnah atau bahkan mubah.
Jika dibaca secara utuh, terlihat jelas
bahwa hadits tersebut berbicara dalam konteks perintah untuk tampil
berbeda dengan orang-orang musyrik. Imam al-Ramli menyatakan, “Perintah
itu bukan karena jenggotnya. Guru kami mengatakan bahwa mencukur jenggot
itu menyerupai orang kafir dan Rasululullah SAW sangat mencela hal itu,
bahkan Rasul SAW mencelanya sama seperti mencela orang kafir” (Hasyiyah
Asnal Mathalib, juz IV hal 162)
Atas dasar pertimbangan ini, maka ulama
Syafi’iyyah berpendapat bahwa memelihara jenggot dan mencukur kumis
adalah sunnah, tidak wajib. Oleh karena itu tidak ada dosa bagi orang
yang mencukur jenggotnya. Apalagi bagi seorang yang malah hilang
ketampanan dan kebersihan serta kewibawaannya ketika ada jenggot di
wajahnya. Misalnya apabila seseorang memiliki bentuk wajah yang tidak
sesuai jika ditumbuhi jenggot, atau jenggot yang tumbuh hanya sedikit.
Adapun pendapat yang mengarahkan
perintah itu pada suatu kewajiban adalah tidak memiliki dasar yang kuat.
Al-Halimi dalam kitab Manahij menyatakan bahwa pendapat yang mewajibkan
memanjangkan jenggot dan haram mencukurnya adalah pendapat yang lemah.
(Hasyiyah Asnal Mathalib, juz V hal 551). Imam Ibn Qasim al-abbadi
menyatakan bahwa pendapat yang menyatakan keharaman mencukur jenggot
menyalahi pendapat yang dipegangi (mu’tamad). (Hasyiah Tuhfatul Muhtaj
Syarh al-Minhaj, juz IX hal 375-376)
Intinya adalah bagaimana seorang muslim
berhias dan memperindah dirinya dengan tetap mendahulukan kesopanan,
menutup aurat dan kerapian serta tidak berlebihan dan urakan. Dan yang
terpenting adalah tidak untuk menimbulkan rangsangan atau menggoda orang
lain. Inilah makna dari firman Allah SWT:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُولَى (الأحزاب، 33)
dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu (QS. Al-Ahzab, 33)
dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu (QS. Al-Ahzab, 33)
No comments:
Post a Comment