Kang
Hanif, seorang anggota Ansor, telah lama didaulat masyarakat di desa
untuk memangku masjid. Semua acara keagamaan dia yang memimpin. Suatu
hari ada seorang berjenggot panjang dan bercelana cingkrang dari sebelah
desa menudingnya sebagai pelaku bid’ah, churafat, takhayul, bahkan
syirik.
“Mas, sampean jangan terus-terusan
menyesatkan umat. Tahlilan, sholawatan, yasinan, manaqiban,
bermaaf-maafan sebelum memasuki Ramadhan, itu bid’ah. Apalagi mendoakan
mayit, tawasul atau ngirim pahala untuk orang sudah mati. Doa itu tidak
sampai, bahkan merusak iman. Musyrik hukumnya,” kata orang tersebut
dengan gaya sok paling Islam dan paling benar.
Kang Hanif hanya diam saja. Ia sudah
beberapa kali menghadapi orang begitu yang biasanya hanya bermodal
“ngeyel” dengan ilmu agama yg jauh dari memadai. Persis seperti anak
kecil baru belajar karate, yang baru tahu satu dua jurus saja lagak
lakunya belagu.
Walau kang Hanif telah 9 tahun mengaji
di pesantren Tambak Beras dan paham betul dasar-dasar amaliyah itu, ia
tetap tak membantah dan membiarkan orang itu terus menudingnya. “Percuma
saja membantah orang itu. Hatinya tertutup jenggotnya. Mata hatinya tak
seterbuka mata kakinya,” batin kang Hanif.
Beberapa waktu kemudian ayah orang yang
berjenggot dan bercelana cingkrang itu meninggal dunia. Kang Hanif
datang bertakziyah bersama para jamaahnya. Dia lantas berdoa keras di
depan mayit si bapak dan jama’ahnya mengamini.
“Ya Allah, laknatlah mayit ini. Jangan
ampuni dosanya. Siksalah dia sepedih-pedihnya. Kumpulkan dia bersama
Fir’aun, Qorun dan orang yg Engkau laknati. Masukkan dia di neraka
sedalam-dalamnya, selama-lamanya”.
Si jenggot bercelana cingkrang menghampiri Kang Hanif, bermaksud menghentikan doanya.
“Jangan protes. Katamu doa kepada mayit
tidak akan sampai. Santai saja. Tidak ada yg perlu engkau khawatirkan
bukan? Kalau aku sih yakin doaku sampai,” ujar kang Hanif tenang.
Muka si jenggot bercelana cingkrang pucat. Tak sepatah katapun keluar dari mulutnya yang biasa menghakimi orang lain
No comments:
Post a Comment