Tawassul - Wasilah - Memohon Pertolongan (Memahami Wasilah kepada Allah SWT)

Tanya Jawab Seputar Aqidah, bersama Habib Al-’Allamah Al-Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith
MEMOHON PERTOLONGAN (Memahami Wasilah kepada Allah SWT)
Apakah pengertian “memohon pertolongan”?
Memohon pertolongan adalah per­mohonan seorang hamba pada perto­longan dan bantuan dari pihak yang da­pat menolong dan membantunya di saat adanya kesulitan atau semacamnya.
Apakah boleh memohon pertolong­an kepada selain Allah?
Boleh. Memohon pertolongan ke­pada selain Allah SWT diperbolehkan dengan maksud bahwa makhluk yang dimintai pertolongan hanyalah sebab dan perantara. Sesungguhnya pertolong­an itu dari Allah SWT dan itu tidak me­nafikan bahwa Allah SWT menetapkan adanya sebab-sebab dan perantara-pe- rantara yang disediakan-Nya bagi per­tolongan tersebut. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW,
“Allah senantiasa menolong hamba selama hamba menolong saudaranya.” Dan sabda Rasulullah SAW terkait hak- hak dalam perjalanan,”.,. dan menolong orang yang membutuhkan pertolongan serta memberi petunjuk kepada orang yang tersesat.”
Allah menisbahkan dan mengaitkan pertolongan kepada hamba serta meng­anjurkan manusia agar saling menolong. Dengan demikian, orang yang meminta pertolongan kepada selain Allah bukan berarti meminta darinya agar menciptakan sesuatu, melainkan yang dimaksud kan adalah (yang dimintai pertolongan), misalnya, berdoa kepada Allah bagi (hajat) peminta pertolongan agar dibe baskan dari kesulitan.
Apakah dalil yang melandasi pene­tapan permohonan pertolongan?
Dalil-dalilnya cukup banyak, di an­taranya yang disebutkan dalam hadits Nabi yang mulia, “Sesungguhnya pada hari Kiamat matahari mendekat hingga membuat keringat sampai setengah te linga. Ketika dalam keadaan seperti itu, mereka meminta pertolongan kepada Adam, kemudian kepada Musa, kemudi an kepada Muhammad SAW.”
 Seluruh manusia yang dihimpun saat itu sepakat terhadap dibolehkannya meminta pertolongan kepada para nabi AS, yakni melalui ilham dari Allah SWI kepada mereka. Hadits ini mengandung dalil yang sangat jelas terkait penetapan permohonan pertolongan kepada selain Allah.
Dalil lainnya adalah sabda Rasulul lah SAW, “Jika salah seorang di antara kailan tersesat, maksudnya tersesat ja lan, atau menghendaki pertolongan, se mentara dia berada di daerah yang tidak ada orang yang membuatnya merasn aman, hendaknya dia mengatakan, ‘Hai hamba-hamba Allah, tolonglah aku.’ Dalam riwayat lain, ‘Bantulah aku.’ Se­sungguhnya Allah memiliki hamba-ham­ba yang tidak kalian lihat.”
Hadits ini dengan tegas memboleh­kan adanya permohonan pertolongan dan menyeru makhluk-makhluk yang ti­dak ada di tempat, baik yang masih hi­dup maupun yang sudah mati. Allah le­bih mengetahui.
Dalam bukunya Khulashah al-Kalam, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan rahimahullah mengatakan, “Kesimpulannya adalah bahwa Madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah membolehkan tawasul dan permohonan pertolongan kepada orang- orang yang masih hidup dan yang sudah mati. Karena kita meyakini, tidak ada pengaruh, manfaat, dan bahaya kecuali dalam kewenangan mutlak Allah semata tanpa ada sekutu bagi-Nya. Para nabi tidak memiliki pengaruh sama sekali, tetapi mereka hanya sebagai perantara dalam hal bertabaruk dan dalam hal permohonan pertolongan lantaran ke­dudukan mereka, karena mereka adalah kekasih-kekasih Allah SWT. Sementara orang yang membedakan (masalah ini) antara yang hidup dan yang mati, artinya mereka meyakini adanya pengaruh pada orang yang hidup dan tidak pada orang yang mati; sedangkan kami mengata­kan, ‘Allah Pencipta segala sesuatu.’ – QS Az-Zumar (39): 62. Dalam ayat lain Allah berfirman, ‘Dan Allah-lah yang men- ciptakan kalian dan amal perbuatan ka­lian.’ -QS Ash-Shaffat (37): 96 (Maksud­nya, menurut Sayyid Ahmad Zaini Dah­lan, tidak ada perbedaan antara yang hidup dan yang mati dalam hal ini, tetapi yang memegang hak mutlak untuk me­netapkannya hanyalah kehendak Allah SWT – Red.).

Apakah makna hadits yang ber­bunyi, “Jika kalian meminta, mintalah kepada Allah; dan jika kalian memo­hon pertolongan, mohonlah perto­longan kepada Allah”?
Hadis ini menunjukkan bahwa peme­nuhan berbagai keperluan dan perto­longan pada hakikatnya dari Allah, tetapi lazimnya Allah memberikan pertolongan kepada hamba-Nya, baik dengan peran­tara maupun tanpa perantara. Dengan demikian, dibolehkan meminta dan me­mohon pertolongan kepada selain Allah dalam arti sebagai permohonan perto­longan dari-Nya melalui adanya faktor penyebab pertolongan Allah SWT, diser­tai keyakinan bahwa pada hakikatnya yang memberi adalah Allah SWT, bukan yang lain.
Dengan demikian, hadits ini tidak da­pat dijadikan dasar adanya larangan me­mohon pertolongan kepada selain Allah; karena jika kita memaknai hadits ini bah­wa permohonan pertolongan tidak diper­kenankan kecuali kepada Allah, kita me­nentang Al-Quran dan sunnah, karena Allah menisbahkan pertolongan kepada selain Dia dan menganjurkan manusia agar saling menolong di antara mereka. Allah SWT berfirman,
“Dan hendaknya kalian saling me­nolong dalam kebajikan dan ketaqwa- an, dan jangan saling menolong dalam dosa dan permusuhan.” – QS Al- Maidah (5): 2.
Apa hukum menyeru kepada se­lain Allah?
Seruan kepada selain Allah diboleh­kan, baik yang diseru itu hidup maupun mati, (maksudnya) agar dia (yang diseru) menghadapkan diri kepada Allah perihal perkara si penyeru. Ini sesuai dengan kesepakatan ulama dan para ulama terkemuka. Di samping tidak ada seorang pun yang menyatakan hukumnya mak­ruh, lebih-lebih dinyatakan sebagai syirik dan terlarang.
Apakah seruan ini dapat dikatakan sebagai ibadah (kepada yang diseru)?
Para ulama rahimahumullah mengata­kan, seruan ini bukan sebagai ibadah ke­cuali jika penyeru meyakini bahwa yang diseru memiliki kewenangan mutlak ter­hadap manfaat dan mudharat, atau pe­nyeru meyakini bahwa kehendak me­reka yang diserunya pasti terlaksana tan­pa kekuasaan Allah SWT. Maka keyakinan seperti ini syirik, karena (menisbahkan kewenangan mutlak dalam manfaat dan mudharat) merupakan salah satu di antara keistimewaan-keistimewaan khusus yang ada pada sifat ketuhanan. Adapun jika dia tidak meyakini itu, bukan merupakan ibadah sama sekali.
Seandainya manusia menyeru ke­pada pemimpinnya agar menolongnya dalam menghadapi pihak yang bertindak sewenang-wenang, atau agar mem­bantunya dalam menghadapi kesulitan, seraya meyakini bahwa yang diseru ti­dak memiliki kewenangan mutlak untuk mendatangkan manfaat atau menghin­darkan bahaya, melainkan Allah-lah yang menetapkan melalui tindakan orang yang diseru itu sebagai sebab yang lazimnya berlaku dalam menyam­paikan keinginan orang yang menyeru, ini bukan merupakan ibadah kepadanya.
Seandainya setiap seruan adalah ibadah, niscaya seruan kepada orang yang hidup dan yang mati pun dilarang, lantaran keduanya sama-sama tidak me­miliki pengaruh tanpa ketetapan dari Allah. Dan ini bukan merupakan pen­dapat yang dianut oleh seorang pun di antara kaum muslimin.
Ath-Thabary menukil dalam bukunya At-Tarikh bahwa para sahabat RA me­miliki seruan pada saat memerangi kaum murtad dalam Perang Yamamah, “Ya Muhammadah (Wahai Muham­mad)!” Ini terjadi setelah Rasulullah SAW wafat pada masa pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq RA.
Dinyatakan dalam sebuah riwayat bahwa Ibnu Abbas dan Ibnu Umar RA mengatakan, jika kaki salah seorang di antara kalian mengalami kesemutan (mati rasa), hendaknya menyeru, “Wahai Muhammad!” Ini disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Kalim Ath-Thayyib.
Diriwayatkan pula bahwasanya, ketika Abdullah bin Umar RA mengalami kesemutan pada kakinya, dikatakan kepadanya, “Ingatlah orang yang paling kamu cintai, maka deritamu akan hilang.” Dia pun berteriak, “Wahai Muhammad!” Ini disebutkan oleh Al-Qadhy lyadh dalam Asy-Syifa’.

Apa hukum memohon kepada para wali agar suatu keperluan dipe­nuhi?
Orang-orang yang meminta kepada para wali yang sudah wafat agar keper­luan-keperluan mereka terpenuhi, me­reka tidak meminta dari para wali ter­sebut kecuali atas kemampuan mereka (para wali tersebut), karena nabi atau wali mampu mengucapkan “Ya Tuhan­ku, penuhilah keperluan Fulan”, sebab ruhnya berada di hadirat Allah dan mam­pu mengajukan kepada Allah SWT agar Dia memenuhi keperluan-keperluan orang-orang yang bertawasul lewat me­reka.
Sesungguhnya jika manusia mati, yang sirna hanyalah jasadnya, sedang­kan ruhnya tetap ada, tidak sirna. Ruh­nya itulah yang berbicara dan mende­ngar serta melihat dalam kehidupannya.
Betapa banyak ruh para wali yang memiliki kondisi-kondisi yang berpe­ngaruh dengan izin Allah SWT setelah mereka meninggal dunia dan beralih ke alam barzakh mereka. Sesungguhnya mereka hidup di sisi Tuhan mereka de­ngan mendapat rizqi di kehidupan alam barzakh yang lebih utuh dan lebih sem­purna daripada kehidupan orang-orang yang mati syahid (di alam barzakh).
[ Disadur oleh : M. Luqman Firmansyah dari Majalah Alkisah Edisi 26 / 2010, halaman 112-115, dan buku Seribu Satu Jawaban Masalah-masalah Aqidah. ]
http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150120469705135

No comments:

Post a Comment