RABI’AH AL ADAWIYAH
A. Biografi Rabi'ah Al Adawiyah
Rabi'ah
Al Adawiyah memiliki nama asli Rabi'ah Al Adawiyah binti Ismail al
Adawiyah al Bashriyah. Ia diberi nama oleh orang tuanya Rabi'ah karena
merupakan anak ke empat dari empat bersaudara. Dalam bahasa Arab rabi'ah
artinya ke empat. Rabi'ah lahir di kota Basrah tahun 94 H dan meninggal
sekitar tahun 185 H serta dimakamkan di tempat itu juga.
Rabi’ah
binti Ismail al-Adawiyah tergolong wanita sufi yang terkenal dalam
sejarah Islam. Dia lahir dalam sebuah keluarga yang miskin dari segi
kebendaan namun kaya dengan peribadatan kepada Allah. Ayahnya hanya
bekerja mengangkut penumpang menyeberangi Sungai Dijlah dengan
menggunakan sampan.
Pada
akhir kurun pertama Hijrah, keadaan hidup masyarakat Islam dalam
pemerintahan Bani Umaiyah yang sebelumnya terkenal dengan ketaqwaan
telah mulai berubah. Pergaulan semakin bebas dan orang ramai
berlumba-lumba mencari kekayaan. Justeru itu kejahatan dan maksiat
tersebar luas. Pekerjaan menyanyi, menari dan berhibur semakin
diagung-agungkan. Maka ketajaman iman mulai tumpul dan zaman hidup wara’
serta zuhud hampir lenyap sama sekali.
Namun
begitu, Allah telah memelihara sebilangan kaum Muslimin agar tidak
terjerumus ke dalam fitnah tersebut. Pada masa itulah muncul satu
gerakan baru yang dinamakan Tasawuf Islami yang dipimpin oleh Hasan
al-Bashri. Pengikutnya terdiri dari para lelaki dan wanita. Mereka
menghabiskan masa dan tenaga untuk mendidik jiwa dan rohani mengatasi
segala tuntutan hawa nafsu demi mendekatkan diri kepada Allah sebagai
hamba yang benar-benar taat.
Bapa
Rabi’ah merupakan hamba yang sangat bertaqwa, tersingkir daripada
kemewahan dunia dan tidak pernah letih bersyukur kepada Allah. Dia
mendidik anak perempuannya menjadi muslimah yang berjiwa bersih.
Pendidikan yang diberikannya bersumberkan al-Quran semata-mata.
Natijahnya Rabi’ah sendiri begitu gemar membaca dan menghayati isi
al-Quran sehigga berjaya menghafal kandungan al-Quran. Sejak kecil lagi
Rabi’ah sememangnya berjiwa halus, mempunyai keyakinan yang tinggi serta
keimanan yang mendalam.
Menjelang
kedewasaannya, kehidupannya menjadi serba sempit. Keadaan itu semakin
buruk setelah beliau ditinggalkan ayah dan ibunya. Rabi’ah juga tidak
terkecuali daripada ujian yang bertujuan membuktikan keteguhan iman. Ada
riwayat yang mengatakan beliau telah terjebak dalam kancah maksiat.
Namun dengan limpah hidayah Allah, dengan asas keimanan yang belum padam
di hatinya, dia dipermudahkan oleh Allah untuk kembali bertaubat.
Babak-babak taubat inilah yang mungkin dapat menyadar serta mendorong
hati kita merasai cara yang sepatutnya seorang hamba bergantung harap
kepada belas ihsan Tuhannya.
Begitulah
keadaan kehidupan Rabi’ah yang ditakdirkan Allah untuk diuji dengan
keimanan serta kecintaan kepada-Nya. Rabi’ah meninggal dunia pada 135
Hijrah iaitu ketika usianya menjangkau 80 tahun. Moga-moga Allah
meridhoinya, amin!
B. Konsep Ajaran Rabi’ah al Adawiyah
Rabi’ah
adalah sufi pertama yang memperkenalkan ajaran Mahabbah (Cinta) Ilahi,
sebuah jenjang (maqam) atau tingkatan yang dilalui oleh seorang salik
(penempuh jalan Ilahi). Selain Rabi’ah al-Adawiyah, sufi lain yang
memperkenalkan ajaran mahabbah adalah Maulana Jalaluddin Rumi, sufi
penyair yang lahir di Persia tahun 604 H/1207 M dan wafat tahun 672
H/1273 M. Jalaluddin Rumi banyak mengenalkan konsep Mahabbah melalui
syai’ir-sya’irnya, terutama dalam Matsnawi dan Diwan-i Syam-I Tabriz.
Sepanjang
sejarahnya, konsep Cinta Ilahi (Mahabbatullah) yang diperkenalkan
Rabi’ah ini telah banyak dibahas oleh berbagai kalangan. Sebab, konsep
dan ajaran Cinta Rabi’ah memiliki makna dan hakikat yang terdalam dari
sekadar Cinta itu sendiri. Bahkan, menurut kaum sufi, Mahabbatullah tak
lain adalah sebuah maqam (stasiun, atau jenjang yang harus dilalui oleh
para penempuh jalan Ilahi untuk mencapai ridla Allah dalam beribadah)
bahkan puncak dari semua maqam. Hujjatul Islam Imam al-Ghazali misalnya
mengatakan, “Setelah Mahabbatullah, tidak ada lagi maqam, kecuali hanya
merupakan buah dari padanya serta mengikuti darinya, seperti rindu
(syauq), intim (uns), dan kepuasan hati (ridla)”.
Rabi’ah
telah mencapai puncak dari maqam itu, yakni Mahabbahtullah. Untuk
menjelaskan bagaimana Cinta Rabi’ah kepada Allah, tampaknya agak sulit
untuk didefinisikan dengan kata-kata. Dengan kata lain, Cinta Ilahi
bukanlah hal yang dapat dielaborasi secara pasti, baik melalui kata-kata
maupun simbol-simbol. Para sufi sendiri berbeda-beda pendapat untuk
mendefinisikan Cinta Ilahi ini. Sebab, pendefinisian Cinta Ilahi lebih
didasarkan kepada perbedaan pengalaman spiritual yang dialami oleh para
sufi dalam menempuh perjalanan ruhaninya kepada Sang Khalik. Cinta
Rabi’ah adalah Cinta spiritual (Cinta qudus), bukan Cinta al-hubb
al-hawa (cinta nafsu) atau Cinta yang lain. Ibnu Qayyim al-Jauziyah
(691-751 H) membagi Cinta menjadi empat bagian:
1.
Mencintai Allah. Dengan mencintai Allah seseorang belum tentu selamat
dari azab Allah, atau mendapatkan pahala-Nya, karena orang-orang
musyrik, penyembah salib, Yahudi, dan lain-lain juga mencintai Allah.
2.
Mencintai apa-apa yang dicintai Allah. Cinta inilah yang dapat
menggolongkan orang yang telah masuk Islam dan mengeluarkannya dari
kekafiran. Manusia yang paling Cintai adalah yang paling kuat dengan
cinta ini.
3. Cinta untuk Allah dan kepada Allah. Cinta ini termasuk perkembangan dari mencintai apa-apa yang dicintai Allah.
4.
Cinta bersama Allah. Cinta jenis ini syirik. Setiap orang mencintai
sesuatu bersama Allah dan bukan untuk Allah, maka sesungguhnya dia telah
menjadikan sesuatu selain Allah. Inilah cinta orang-orang musyrik.
Pokok
ibadah, menurut Ibnu Qayyim, adalah Cinta kepada Allah, bahkan
mengkhususkan hanya Cinta kepada Allah semata. Jadi, hendaklah semua
Cinta itu hanya kepada Allah, tidak mencintai yang lain bersamaan
mencintai-Nya. Ia mencintai sesuatu itu hanyalah karena Allah dan berada
di jalan Allah.
Cinta
sejati adalah bilamana seluruh dirimu akan kau serahkan untukmu Kekasih
(Allah), hingga tidak tersisa sama sekali untukmu (lantaran seluruhnya
sudah engkau berikan kepada Allah) dan hendaklah engkau cemburu
(ghirah), bila ada orang yang mencintai Kekasihmu melebihi Cintamu
kepada-Nya.
Abu
Nashr as-Sarraj ath-Thusi mengatakan, cinta para sufi dan ma’rifat itu
timbul dari pandangan dan pengetahuan mereka tentang cinta abadi dan
tanpa pamrih kepada Allah. Cinta itu timbul tanpa ada maksud dan tujuan
apa pun.
Apa
yang diajarkan Rabi’ah melalui mahabbah-nya, sebenarnya tak berbeda
jauh dengan yang diajarkan Hasan al-Bashri dengan konsep khauf (takut)
dan raja’ (harapan). Hanya saja, jika Hasan al-Bahsri mengabdi kepada
Allah didasarkan atas ketakutan masuk neraka dan harapan untuk masuk
surga, maka mahabbah Rabi’ah justru sebaliknya. Ia mengabdi kepada Allah
bukan lantaran takut neraka maupun mengharapkan balasan surga, namun ia
mencinta Allah lebih karena Allah semata.
Rabi’ah
seolah-olah tidak mengenali yang lain daripada Allah. Oleh itu dia
terus-menerus mencintai Allah semata-mata. Dia tidak mempunyai tujuan
lain kecuali untuk mencapai keredaan Allah. Rabi’ah telah mempertalikan
akalnya, pemikirannya dan perasaannya hanya kepada akhirat semata-mata.
Dia sentiasa meletakkan kain kapannya di hadapannya dan sentiasa
membelek-beleknya setiap hari.
Menurut
kaum sufi, proses perjalanan ruhani Rabi’ah telah sampai kepada maqam
mahabbah dan ma’rifat. Namun begitu, sebelum sampai ke tahapan maqam
tersebut, Rabi’ah terlebih dahulu melampaui tahapan-tahapan lain, antara
lain tobat, sabar dan syukur. Tahapan-tahapan ini ia lampaui seiring
dengan perwujudan Cintanya kepada Tuhan. Tapi pada tahap tertentu, Cinta
Rabi’ah kepada Tuhannya seakan masih belum terpuaskan, meski hijab
penyaksian telah disibakkan. Oleh karena itu, Rabi’ah tak henti-hentinya
memohon kepada Kekasihnya itu agar ia bisa terus mencintai-Nya dan Dia
pun Cinta kepadanya. Hal ini sesuai dengan firman Allah: “Dia mencintai
mereka dan mereka mencintai-Nya” (QS. 5: 59).
C. Karya-Karya Rabi’ah al Adawiyah
Syair Rabi'ah Al Adawiyah
1. Tuhanku, tenggelamkan aku dalam cintaMu
Hingga tak ada sesuatupun yang menggangguku dalam jumpaMu
Tuhanku, bintang-gemintang berkelap-kelip
Manusia terlena dalam buai tidur lelap
Pintu-pintu istana pun telah rapat tertutup
Tuhanku, demikian malampun berlalu
Dan inilah siang datang menjelang
Aku menjadi resah gelisah
Apakah persembahan malamku Kau Terima
Hingga aku berhak mereguk bahagia
Ataukah itu Kau Tolak, hingga aku dihimpit duka,
Demi kemahakuasaan-Mua
Inilah yang akan selalu ku lakukan
Selama Kau Beri aku kehidupan
Demi kemanusiaan-Mu,
Andai Kau Usir aku dari pintuMu
Aku tak akan pergi berlalu
Karena cintaku padaMu sepenuh kalbu
Hingga tak ada sesuatupun yang menggangguku dalam jumpaMu
Tuhanku, bintang-gemintang berkelap-kelip
Manusia terlena dalam buai tidur lelap
Pintu-pintu istana pun telah rapat tertutup
Tuhanku, demikian malampun berlalu
Dan inilah siang datang menjelang
Aku menjadi resah gelisah
Apakah persembahan malamku Kau Terima
Hingga aku berhak mereguk bahagia
Ataukah itu Kau Tolak, hingga aku dihimpit duka,
Demi kemahakuasaan-Mua
Inilah yang akan selalu ku lakukan
Selama Kau Beri aku kehidupan
Demi kemanusiaan-Mu,
Andai Kau Usir aku dari pintuMu
Aku tak akan pergi berlalu
Karena cintaku padaMu sepenuh kalbu
2. Ya Allah, apa pun yang akan Engkau
Karuniakan kepadaku di dunia ini,
Berikanlah kepada musuh-musuhMu
Dan apa pun yang akan Engkau
Karuniakan kepadaku di akhirat nanti,
Berikanlah kepada sahabat-sahabatMu
Karena Engkau sendiri, cukuplah bagiku
Karuniakan kepadaku di dunia ini,
Berikanlah kepada musuh-musuhMu
Dan apa pun yang akan Engkau
Karuniakan kepadaku di akhirat nanti,
Berikanlah kepada sahabat-sahabatMu
Karena Engkau sendiri, cukuplah bagiku
3. Aku mengabdi kepada Tuhan
Bukan karena takut neraka
Bukan pula karena mengharap masuk surga
Tetapi aku mengabdi,
Karena cintaku padaNya
Ya Allah, jika aku menyembahMu
Karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya
Dan jika aku menyembahMu
Karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya
Tetapi, jika aku menyembahMu
Demi Engkau semata,
Janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajahMu
Yang abadi padaku
Bukan karena takut neraka
Bukan pula karena mengharap masuk surga
Tetapi aku mengabdi,
Karena cintaku padaNya
Ya Allah, jika aku menyembahMu
Karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya
Dan jika aku menyembahMu
Karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya
Tetapi, jika aku menyembahMu
Demi Engkau semata,
Janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajahMu
Yang abadi padaku
4. Ya Allah
Semua jerih payahku
Dan semua hasratku di antara segala
Kesenangan-kesenangan
Di dunia ini, adalah untuk mengingat Engkau
Dan di akhirat nanti, diantara segala kesenangan
Adalah untuk berjumpa denganMu
Begitu halnya dengan diriku
Seperti yang telah Kau katakana
Kini, perbuatlah seperti yang Engkau Kehendaki
Semua jerih payahku
Dan semua hasratku di antara segala
Kesenangan-kesenangan
Di dunia ini, adalah untuk mengingat Engkau
Dan di akhirat nanti, diantara segala kesenangan
Adalah untuk berjumpa denganMu
Begitu halnya dengan diriku
Seperti yang telah Kau katakana
Kini, perbuatlah seperti yang Engkau Kehendaki
5. Aku mencintaiMu dengan dua cinta
Cinta karena diriku dan cinta karena diriMu
Cinta karena diriku, adalah keadaan senantiasa mengingatMu
Cinta karena diriMu, adalah keadaanMu mengungkapkan tabir
Hingga Engkau ku lihat
Baik untuk ini maupun untuk itu
Pujian bukanlah bagiku
BagiMu pujian untuk semua itu
Cinta karena diriku dan cinta karena diriMu
Cinta karena diriku, adalah keadaan senantiasa mengingatMu
Cinta karena diriMu, adalah keadaanMu mengungkapkan tabir
Hingga Engkau ku lihat
Baik untuk ini maupun untuk itu
Pujian bukanlah bagiku
BagiMu pujian untuk semua itu
6. Buah hatiku, hanya Engkau yang kukasihi
Beri ampunlah pembuat dosa yang datang kehadiratMu
Engkaulah harapanku, kebahagiaan dan kesenanganku
Hatiku telah enggan mencintai selain dari Engkau
Beri ampunlah pembuat dosa yang datang kehadiratMu
Engkaulah harapanku, kebahagiaan dan kesenanganku
Hatiku telah enggan mencintai selain dari Engkau
7. Hatiku tenteram dan damai jika aku diam sendiri
Ketika Kekasih bersamaku
CintaNya padaku tak pernah terbagi
Dan dengan benda yang fana selalu mengujiku
Kapan dapat kurenungi keindahanNya
Dia akan menjadi mihrabku
Dan rahasiaNya menjadi kiblatku
Bila aku mati karena cinta, sebelum terpuaskan
Akan tersiksa dan lukalah aku di dunia ini
O, penawar jiwaku
Hatiku adalah santapan yang tersaji bagi mauMu
Barulah jiwaku pulih jika telah bersatu dengan Mu
O, sukacita dan nyawaku, semoga kekallah
Jiwaku, Kaulah sumber hidupku
Dan dariMu jua birahiku berasal
Dari semua benda fana di dunia ini
Dariku telah tercerah
Hasratku adalah bersatu denganMu
Melabuhkan rindu
Ketika Kekasih bersamaku
CintaNya padaku tak pernah terbagi
Dan dengan benda yang fana selalu mengujiku
Kapan dapat kurenungi keindahanNya
Dia akan menjadi mihrabku
Dan rahasiaNya menjadi kiblatku
Bila aku mati karena cinta, sebelum terpuaskan
Akan tersiksa dan lukalah aku di dunia ini
O, penawar jiwaku
Hatiku adalah santapan yang tersaji bagi mauMu
Barulah jiwaku pulih jika telah bersatu dengan Mu
O, sukacita dan nyawaku, semoga kekallah
Jiwaku, Kaulah sumber hidupku
Dan dariMu jua birahiku berasal
Dari semua benda fana di dunia ini
Dariku telah tercerah
Hasratku adalah bersatu denganMu
Melabuhkan rindu
8. Sendiri daku bersama Cintaku
Waktu rahasia yang lebih lembut dari udara petang
Lintas dan penglihatan batin
Melimpahkan karunia atas doaku
Memahkotaiku, hingga enyahlah yang lain, sirna
Antara takjub atas keindahan dan keagunganNya
Dalam semerbak tiada tara
Aku berdiri dalam asyik-masyuk yang bisu
Ku saksikan yang datang dan pergi dalam kalbu
Lihat, dalam wajahNya
Tercampur segenap pesona dan karunia
Seluruh keindahan menyatu
Dalam wajahNya yang sempurna
Lihat Dia, yang akan berkata
“Tiada Tuhan selain Dia, dan Dialah Yang maha Mulia.”
Waktu rahasia yang lebih lembut dari udara petang
Lintas dan penglihatan batin
Melimpahkan karunia atas doaku
Memahkotaiku, hingga enyahlah yang lain, sirna
Antara takjub atas keindahan dan keagunganNya
Dalam semerbak tiada tara
Aku berdiri dalam asyik-masyuk yang bisu
Ku saksikan yang datang dan pergi dalam kalbu
Lihat, dalam wajahNya
Tercampur segenap pesona dan karunia
Seluruh keindahan menyatu
Dalam wajahNya yang sempurna
Lihat Dia, yang akan berkata
“Tiada Tuhan selain Dia, dan Dialah Yang maha Mulia.”
9. Rasa riangku, rinduku, lindunganku,
Teman, penolong dan tujuanku,
Kaulah karibku, dan rindu padaMu
Meneguhkan daku
Apa bukan padaMu aku ini merindu
O, nyawa dan sahabatku
Aku remuk di rongga bumi ini
Telah banyak karunia Kau berikan
Telah banyak..
Namun tak ku butuh pahala
Pemberian ataupun pertolongan
CintaMu semata meliput
Rindu dan bahagiaku
Ia mengalir di mata kalbuku yang dahaga
Adapun di sisiMu aku telah tiada
Kau bikin dada kerontang ini meluas hijau
Kau adalah rasa riangku
Kau tegak dalam diriku
Jika akku telah memenuhiMu
O, rindu hatiku, aku pun bahagia
Teman, penolong dan tujuanku,
Kaulah karibku, dan rindu padaMu
Meneguhkan daku
Apa bukan padaMu aku ini merindu
O, nyawa dan sahabatku
Aku remuk di rongga bumi ini
Telah banyak karunia Kau berikan
Telah banyak..
Namun tak ku butuh pahala
Pemberian ataupun pertolongan
CintaMu semata meliput
Rindu dan bahagiaku
Ia mengalir di mata kalbuku yang dahaga
Adapun di sisiMu aku telah tiada
Kau bikin dada kerontang ini meluas hijau
Kau adalah rasa riangku
Kau tegak dalam diriku
Jika akku telah memenuhiMu
O, rindu hatiku, aku pun bahagia
10. Ya Allah, jika aku menyembah-Mu,
karena takut pada neraka,
maka bakarlah aku di dalam neraka.
Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga,
campakkanlah aku dari dalam surga.
Tetapi jika aku menyembah-Mu, demi Engkau,
janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu,
yang Abadi kepadaku.
karena takut pada neraka,
maka bakarlah aku di dalam neraka.
Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga,
campakkanlah aku dari dalam surga.
Tetapi jika aku menyembah-Mu, demi Engkau,
janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu,
yang Abadi kepadaku.
D. Kisah Kezuhudan Rabi’ah al Adawiyah
Sebagaimana
yang banyak ditulis dalam biografi Rabi’ah al-Adawiyah, wanita suci ini
sama sekali tidak memikirkan dirinya untuk menikah. Sebab, menurut
Rabi’ah, jalan tidak menikah merupakan tindakan yang tepat untuk
melakukan pencarian Tuhan tanpa harus dibebani oleh urusan-urusan
keduniawian. Padahal, tidak sedikit laki-laki yang berupaya untuk
mendekati Rabi’ah dan bahkan meminangnya. Di antaranya adalah Abdul
Wahid bin Zayd, seorang sufi yang zuhud dan wara. Ia juga seorang teolog
dan termasuk salah seorang ulama terkemuka di kota Basrah.
Abdul
Wahid bin Zayd sempat mencoba meminang Rabi’ah. Tapi lamaran itu
ditolaknya dengan mengatakan, “Wahai laki-laki sensual, carilah
perempuan sensual lain yang sama dengan mereka. Apakah engkau melihat
adanya satu tanda sensual dalam diriku?”
Laki-laki
lain yang pernah mengajukan lamaran kepada Rabi’ah adalah Muhammad bin
Sulaiman al-Hasyimi, seorang Amir Abbasiyah dari Basrah (w. 172 H).
Untuk berusaha mendapatkan Rabi’ah sebagai istrinya, laki-laki itu
sanggup memberikan mahar perkawinan sebesar 100 ribu dinar dan juga
memberitahukan kepada Rabi’ah bahwa ia masih memiliki pendapatan
sebanyak 10 ribu dinar tiap bulan. Tetapi dijawab oleh Rabi’ah, ”Aku
sungguh tidak merasa senang bahwa engkau akan menjadi budakku dan semua
milikmu akan engkau berikan kepadaku, atau engkau akan menarikku dari
Allah meskipun hanya untuk beberapa saat.”
Dalam
kisah lain disebutkan, ada laki-laki sahabat Rabi’ah bernama Hasan
al-Bashri yang juga berniat sama untuk menikahi Rabi’ah. Bahkan para
sahabat sufi lain di kota itu mendesak Rabi’ah untuk menikah dengan
sesama sufi pula. Karena desakan itu, Rabi’ah lalu mengatakan, “Baiklah,
aku akan menikah dengan seseorang yang paling pintar di antara kalian.”
Mereka mengatakan Hasan al-Bashri lah orangnya.” Rabi’ah kemudian
mengatakan kepada Hasan al-Bashri, “Jika engkau dapat menjawab empat
pertanyaanku, aku pun akan bersedia menjadi istrimu.” Hasan al-Bashri
berkata, “Bertanyalah, dan jika Allah mengizinkanku, aku akan menjawab
pertanyaanmu.”
“Pertanyaan
pertama,” kata Rabi’ah, “Apakah yang akan dikatakan oleh Hakim dunia
ini saat kematianku nanti, akankah aku mati dalam Islam atau murtad?”
Hasan menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Mengetahui yang dapat menjawab.”
“Pertanyaan
kedua, pada waktu aku dalam kubur nanti, di saat Malaikat Munkar dan
Nakir menanyaiku, dapatkah aku menjawabnya?” Hasan menjawab, “Hanya
Allah Yang Maha Mengetahui.” “Pertanyaan ketiga, pada saat manusia
dikumpulkan di Padang Mahsyar di Hari Perhitungan (Yaumul Hisab) semua
nanti akan menerima buku catatan amal di tangan kanan dan di tangan
kiri. Bagaimana denganku, akankah aku menerima di tangan kanan atau di
tangan kiri?” Hasan kembali menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Tahu.
“Pertanyaan terakhir, pada saat Hari Perhitungan nanti, sebagian manusia
akan masuk surga dan sebagian lain masuk neraka. Di kelompok manakah
aku akan berada?” Hasan lagi-lagi menjawab seperti jawaban semula bahwa
hanya Allah saja Yang Maha Mengetahui semua rahasia yang tersembunyi
itu.
Selanjutnya,
Rabi’ah mengatakan kepada Hasan al-Bashri, “Aku telah mengajukan empat
pertanyaan tentang diriku, bagaiman aku harus bersuami yang kepadanya
aku menghabiskan waktuku dengannya?” Dalam penolakannya itu pula,
Rabi’ah lalu menyenandungkan sebuah sya’ir yang cukup indah.
Damaiku, wahai saudara-saudaraku,
Dalam kesendirianku,
Dan kekasihku bila selamanya bersamaku,
Karena cintanya itu,
Tak ada duanya,
Dan cintanya itu mengujiku,
Di antara keindahan yang fana ini,
Pada saat aku merenungi Keindahan-Nya,
Dia-lah “mirabku”, Dia-lah “kiblatku”,
Jika aku mati karena cintaku,
Sebelum aku mendapatkan kepuasaanku,
Amboi, alangkah hinanya hidupku di dunia ini,
Oh, pelipur jiwa yang terbakar gairah,
Juangku bila menyatu dengan-Mu telah melipur jiwaku,
Wahai Kebahagiaanku dan Hidupku selamanya,
Engkau-lah sumber hidupku,
Dan dari-Mu jua datang kebahagiaanku,
Telah kutanggalkan semua keindahan fana ini dariku,
Harapku dapat menyatu dengan-Mu,
Karena itulah hidup kutuju.
Dalam kesendirianku,
Dan kekasihku bila selamanya bersamaku,
Karena cintanya itu,
Tak ada duanya,
Dan cintanya itu mengujiku,
Di antara keindahan yang fana ini,
Pada saat aku merenungi Keindahan-Nya,
Dia-lah “mirabku”, Dia-lah “kiblatku”,
Jika aku mati karena cintaku,
Sebelum aku mendapatkan kepuasaanku,
Amboi, alangkah hinanya hidupku di dunia ini,
Oh, pelipur jiwa yang terbakar gairah,
Juangku bila menyatu dengan-Mu telah melipur jiwaku,
Wahai Kebahagiaanku dan Hidupku selamanya,
Engkau-lah sumber hidupku,
Dan dari-Mu jua datang kebahagiaanku,
Telah kutanggalkan semua keindahan fana ini dariku,
Harapku dapat menyatu dengan-Mu,
Karena itulah hidup kutuju.
Allah
adalah teman sekaligus Kekasih dirinya, sehingga ke mana saja Rabi’ah
pergi, hanya Allah saja yang ada dalam hatinya. Ia mencintai Allah
dengan sesungguh hati dan keimanan. Karena itu, ia sering jadikan
Kekasihnya itu sebagai teman bercakap dalam hidup. Dalam salah satu
sya’ir berikut jelas tergambar bagaimana Cinta Rabi’ah kepada Teman dan
Kekasihnya itu:
Kujadikan Engkau teman bercakap dalam hatiku,
Tubuh kasarku biar bercakap dengan yang duduk.
Jisimku biar bercengkerama dengan Tuhanku,
Isi hatiku hanya tetap Engkau sendiri.
Tubuh kasarku biar bercakap dengan yang duduk.
Jisimku biar bercengkerama dengan Tuhanku,
Isi hatiku hanya tetap Engkau sendiri.
Rabi’ah
tak putus-putusnya berdoa dan bermunajat kepada Allah. Bahkan dalam
doanya itu ia berharap agar tetap mencintai Allah hingga Allah memenuhi
ruang hatinya. Doanya:
Tuhanku, malam telah berlalu dan
siang segera menampakkan diri.
Aku gelisah apakah amalanku Engkau terima,
hingga aku merasa bahagia,
Ataukah Engkau tolak hingga sehingga aku merasa bersedih,
Demi ke-Maha Kuasaan-Mu, inilah yang akan kulakukan.
Selama Engkau beri aku hayat,
sekiranya Engkau usir dari depan pintu-Mu,
aku tidak akan pergi karena cintaku pada-Mu,
telah memenuhi hatiku.
Cinta
bagi Rabi’ah telah mempesonakan dirinya hingga ia telah melupakan
segalanya selain Allah. Tapi bagi Rabi’ah, Cinta tentu saja bukan
tujuan, tetapi lebih dari itu Cinta adalah jalan keabadian untuk menuju
Tuhan sehingga Dia ridla kepada hamba yang mencintai-Nya. Dan dengan
jalan Cinta itu pula Rabi’ah berupaya agar Tuhan ridla kepadanya dan
kepada amalan-amalan baiknya. Harapan yang lebih jauh dari Cintanya
kepada Tuhan tak lain agar Tuhan lebih dekat dengan dirinya, dan
kemudian Tuhan sanggup membukakan hijab kebaikan-Nya di dunia dan juga
di akhirat kelak. Ia mengatakan, dengan jalan Cinta itu dirinya berharap
Tuhan memperlihatkan wajah yang selalu dirindukannya. Dalam sya’irnya
Rabi’ah mengatakan:
Aku mencintai-Mu dengan dua macam Cinta,
Cinta rindu dan Cinta karena Engkau layak dicinta,
Dengan Cinta rindu,
kusibukan diriku dengan mengingat-ingat-Mu selalu,
Dan bukan selain-Mu.
Sedangkan Cinta karena Engkau layak dicinta,
di sanalah Kau menyingkap hijab-Mu,
agar aku dapat memandangmu.
Namun, tak ada pujian dalam ini atau itu,
segala pujian hanya untuk-Mu dalam ini atau itu.
More:
http://syssiqueen.blogspot.com
http://www.sarkub.com
http://piicko.blogspot.com/
No comments:
Post a Comment