Menteri pertahanan Amerika Serikat (AS), Chuck Hagel, dalam kunjungannya ke Brunei Darussalam (Selasa, 27/8/2013) menyatakan kesiapan pasukan militernya untuk menggempur Suriah jika telah mendapat lampu hijau dari sang Presiden Obama.
AS saat ini juga tengah membangun dukungan internasional, khususnya negara-negara Eropa untuk melaksanakan misinya menginvasi Suriah dengan alasan krisis kemanusiaan dan isu senjata kimia, Meskipun baru Inggris dan Perancis yang menyatakan kesiapannya mendukung rencana sekutunya itu.
Sejak konflik Suriah pertama kali pada 11 Maret 2011 lalu, berbagai prediksi muncul dari para pengamat internasionsl tentang masa depan Suriah. Banyak kalangan merasa pesimis konflik Suriah akan berakhir dalam waktu dekat. Bahkan mereka memprediksi akan terjadi perang dunia ketiga di Timur Tengah dengan adanya isu Arab Spring yang melanda negara-negara itu, termasuk Suriah.
Mantan sekretaris jenderal PBB Kofi Annan pernah mengusulkan gencatan senjata antara rezim dengan pihak oposisi untuk mengakhiri konflik kekerasan disana. Alih-alih menerima tawaran gencatan senjata Annan, Presiden Bashar Assad justru menolak berdialog dengan kelompok oposisi karena dia menduga kelompok ini telah ditunggangi teroris dan memperoleh kucuran dana dari kekuatan asing. Assad menegaskan bahwa "No political dialogue or political activity can succeed while there are armed terrorist groups operating and spreading chaos and instability". Pernyataan ini menyiratkan adanya kebuntuan dialog antara rezim Assad dengan para penentangnya.
Sejak Bashar Assad menolak melakukan dialog dengan pihak oposisi, situasi di Suriah menjadi semakin kacau. Hal ini mengundang para ”pejuang” dari negara-negara lain untuk datang ke Suriah dan melawan Bashar asaad dengan dalih memerangi rezim syiah yang membantai kaum sunni.
Banyak Kepentingan di Suriah
Ketika AS melakukan invasi militer ke Afganistan, Irak, dan Lybia, berbagai dalil mereka gunakan untuk melogiskan aksinya itu dan agar mendapat dukungan dari masyarakat internasional. Pada akhirnya kita semua tahu bahwa seribu satu alasan yang mereka buat hanyalah sebagai kedok agar bisa menguasai ladang-ladang minyak negara tersebut.
Di sisi lain, Rusia, China, Iran dan Lebanon yang selama ini menjadi pendukung setia rezim Assad, pastinya juga memiliki kepentingan di sana. Tidak hanya kepentingan ekonomi dan perdagangan saja, kepentingan politik juga turut mewarnai dukungan mereka terhadap rezim itu.
Memang, ada banyak kepentingan di suriah, baik oleh Amerika dan negara-negara sekutunya, Rusia yang menjadi seteru abadi AS, sampai para “pejuang” yang ingin menegakkan daulah Islam disana dengan jalan menggulingkan kekuasaan Assad yang oleh “ulama-ulama” mereka telah divonis kafir dan harus di perangi.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang Suriah, berikut kami ulas tentang keadaan geografi Suriah dan kekayaan yang dimilikinya.
Georgafi suriah
Suriah terletak di Barat Daya Asia, sebelah utara Semenanjung Arab di kawasan Timur Tengah, di ujung timur Laut Mediterania. Suriah berbatasan dengan Turki di utara, Libanon dan Israel di sebelah barat, Irak di timur, dan Yordania di selatan.
Daratan Suriah terdiri dari pegunungan di wilayah barat dan padang rumput daerah pedalaman. Di bagian timur Suriah ada gurun dan di selatan ada pegunungan yang sampai ke lembah Sungai Efrat. Sebuah bendungan yang dibangun pada tahun 1973 di Eufrat menciptakan sebuah Danau yang diberi nama Danau Assad yang merupakan danau terbesar di Suriah.
Titik tertinggi di Suriah adalah Gunung Hermon (2.814 m/ 9232 kakli) di perbatasan Lebanon. Di pantai Mediterania terdapat wilayah yang lembab, dan sebagian lainnya daerah padang pasir yang gersang terletak zona stepa semi kering membentang di hampir tiga perempat wilayah Negara itu.
Suriah memiliki 28 % tanah yang subur, 4 % nya digunakan untuk tanaman permanen, 46 % sebagai wilayah padang rumput dan hanya 3 % yang menjadi wilayah hutan.
Negara Suriah dibagi menjadi empat belas propinsi (muhafazat) dan 60 kabupaten (manatiq). Masing-masing kabupaten dibagi menjadi beberapa kecamatan (nawahi). Damaskus adalah Ibukota dan sekaligus kota terbesar di Suriah dengan populasi sekitar empat juta jiwa. Latakia dan Tartus adalah pelabuhan utama Suriah di laut Mediterania.
Total luas wilayah Suriah adalah 185.180 km2, terdiri atas 183.630 km2 wilayah daratan dan 1.550 km2 lautnya. Luas ini sudah termasuk dataran tinggi Golan yang saat ini dikuasai Israel.
Minyak di Suriah
Kilang minyak Suriah terletak di propinsi Homs. Suriah telah menghasilkan minyak berat kelas dari ladang terletak di wilayah timur lautnya sejak akhir 1960-an. Pada awal 1980-an, mereka menemukan ladang minyak rendah sulfur di dekat Deir ez-Zor di wilayah timur Suriah.
Tingkat produksi minyak Suriah menurun drastis dari 600.000 barel per hari (bbl/d) pada tahun 1995 turun menjadi 140.000 bbl/d pada tahun 2012.
Ekspor minyak di Suriah masih menjadi sektor andalan dari pendapatan Negara. Dengan mengekspor 200.000 bbl / d pada tahun 2005. Suriah juga menghasilkan 22 juta meter kubik gas per hari, dengan cadangan diperkirakan sekitar 8,5 triliun kaki kubik (240 km3). Sementara pemerintah telah mulai bekerja sama dengan perusahaan energi internasional dengan harapan menjadi eksportir gas. Semua gas yang dihasilkan saat ini masih dikonsumsi dalam negeri dan belum menjadi sektor ekspor negara.
Sebelum pemberontakan, lebih dari 90% dari ekspor minyak Suriah adalah untuk negara-negara Uni Eropa, dan sisanya diekspor ke Turki. Ekspor minyak Suriah menyumbang pendapatan negara sekitar 25% dari pendapatan total pemerintah.
Kekuatan Bashar Assad
Kekuatan dan Kekuasaan Assad sesungguhnya semakin melemah. Sejumlah petinggi militernya membelot ke kubu oposisi. Saudara Bashar Assad yang merasa kecewa dengan kepemimpinannya, Riad al Assad pun menjadi panglima Tentara Pembebasan Suriah (FSA) yang berafiliasi dengan Dewan Nasional Suriah (SNC), walaupun kemudian Riad al Assad mundur dari panglima FSA.
Tak hanya itu, para pejabat pemerintahannya pun tidak sedikit yang bergabung dengan oposisi. Wakil Menteri Perminyakan Abdo Husameddin juga telah membelot ke kubu oposisi. Pembelotan ini ternyata diikuti para pejabat lain.
Banyak kalangan mengatakan, bagi Assad, tidak ada untungnya lagi dia mempertahankan kekuasaan yang telah rapuh. Hanya saja, dia pasti tidak ingin mengalami nasib yang sama dengan Hosni Mubarak di Mesir yang kini diseret ke pengadilan.
Kunci yang bisa dimainkanuntuk mendesak Assad mundur dari jabatannya adalah militer menarik dukungan militer dari rezim penguasa. Jika ini terjadi, Assad tentu berpikir dia telah kehilangan basis dukungan utamanya yang selama ini membela dia habis-habisan dari tuntutan oposisi. Oleh karena itu, jika itu terjadi, ada kemungkinan dia nantinya akan bersedia mengundurkan diri asalkan dibebaskan dari segala tuntutan hukum.
Isu sunni – syiah
Sebenarnya isu yang pertama kali di usung saat terjadi demonstrasi di kota Daraa, 11 Maret 2011 lalu adalah isu Arab Spring, dimana rakyat Suriah menuntut pemerintah Suriah agar menerapkan demakrasi di Suriah dan memberi kesempatan lebih besar kepada rakyat untuk bersuara.
Namun, Bashar Assad justru menanggapi demonstrasi itu dengan kekuatan militer, menculik para demonstran dan menyiksa mereka. Tak hanya itu, Assad juga mengatakan bahwa kaum Sunni ingin memberontak kepada pemerintah.
Dari pernyataan itu, Riad al Assad yang menjadi salah satu pemimpin pihak oposisi memanfaatkan isu tersebut untuk mendapatkan simpati dari kaum sunni, baik di Suriah sendiri maupun di luar Suriah. Ia kemudian menggalang kekuatan di hampir seluruh wilayah Suriah dan juga orang-orang kepercayaannya di militer yang kemudian mereka bergabung membentuk FSA untuk melawan dan menggulingkan Bashar Assad dari jabatan kepresidenannya.
Walaupun Bashar Assad menganut faham syiah nushairiyah, namun ia menjadi presiden sesungguhnya bukan karena dukungan orang-orang syiah di Suriah (yang hanya 14 % saja, sedangkan sunni 74 %). Assad menjadi presiden karena menggantikan ayahnya (Hafedz al Assad) dan ia sendiri adalah dari partai Ba’ats yang kemudian membawanya sampai ke kursi presiden pada tahun 2000.
Sejak kudeta yang dilakukan oleh sekelompok perwira militer pimpinan Abdul Karim Nahlawy di tahun 1961, pemerintahan Suriah berada dibawah kendali Partai Baath ((Hizb Al-Ba’ats Al-Isytiraki) hingga kini. Partai Baath sendiri merupakan partai yang mengusung ideologi Baath’isme, yang berintikan nilai-nilai Nasionalisme dan Sosialisme Arab, atau bisa dikatakan pula ideologi sosialisme ‘khas’ Arab.
Ideologi ini diintrodusir oleh seorang intelektual Suriah beragama Kristen, Michel Aflaq, pada saat kolonialisme Eropa masih mencengkram Timur Tengah pasca keruntuhan Daulah Turki Ustmani tahun 1924. Selain Suriah, rezim-rezim di dunia Arab yang pernah menggunakan ideologi ini sebagai dasar negara adalah pemerintahan Gamal Abdul Nasser di Mesir (1952-1970), rezim Muamar Khadafi di Libya (1969-2011) serta rezim Saddam Husein yang berkuasa di Irak hingga tahun 2003.
Jadi kesimpulan penulis, Bashar Assad menjadi presiden bukan karena syiahnya, tapi karena partai Ba’ats, walaupun faktanya ia adalah penganut syiah.
Kepentingan AS
Kembali kepada rencana invasi AS terhadap Suriah, mereka tentu saja memiliki misi tersembunyi dibalik aksi-aksinya. Kepentingan ekonomi (perminyakan) tentu saja sudah tentu menjadi salah satu faktor utama dalam menjalankan misinya, sama seperti yang telah mereka lakukan di Afganistan, Iraq dan Lybia.
Namun ada hal yang tidak kalah penting dari misi ekonomi itu. Menurut pengamatan penulis, AS ingin mengamankan posisi “anak kesayangannya”, Israel dari serangan-serangan negara-negara yang tidak mau bekerja sama dengannya.
Kita semua tahu bahwa Suriah adalah salah satu Negara yang tidak mau membuka hubungan diplomatic dengan Israel, maupun Amerika. Bahkan sejarah mencatat, pada tanggal 6 Oktober 1973, pada hari Yom Kippur, hari raya Yahudi yang paling besar, ketika orang-orang Israel sedang khusyuk merayakannya, yang juga bertepatan dengan bulan Ramadan bagi ummat Islam sehingga dinamakan "Perang Ramadan 1973", Suriah, di bantu Libya dan Mesir menyerbu Israel secara tiba-tiba. Di dataran tinggi Golan, garis pertahanan Israel yang hanya berjumlah 180 tank harus berhadapan dengan 1400 tank Suriah. Sedangkan di terusan Suez, kurang dari 500 prajurit Israel berhadapan dengan 80.000 prajurit Mesir.
Meskipun akhirnya Israel memenangkan peperangan itu, namun hal itu menjadi pelajaran berharga bagi Israel dan Amerika untuk tidak menganggap remeh Suriah karena mereka memiliki kekuatan untuk melawan mereka sewaktu-waktu.
Suriah juga dikenal sangat mendukung gerakan perlawanan Palestina terhadap Israel. Hal itu ditunjukkan dengan dibukanya kantor perwakilan Hamas dan PLO di Damaskus. Suriah juga mendukung gerilyawan Hizbullah di Lebanon secara finansial maupun politik. Disamping itu, faksi perlawanan Palestina FPLP pimpinan George Habash juga didukung penuh oleh Suriah.
Perlawanan Suriah terhadap AS dan Israel juga ditunjukkan dengan adanya hubungan ‘mesra’ dengan Rusia, apalagi dalam politik domestiknya kaum komunis Suriah juga mendukung rezim Assad. Dalam sejarahnya pun, Rusia memang berpihak pada Negara-negara Arab ketika mereka berperang melawan Israel, seperti pada Perang Enam Hari dan Krisis Terusan Suez tahun 1956.
Jadi, selain misi ekonomi, Amerika ingin mengamankan posisi Israel dari ancaman Suriah dengan menghancurkan kekuatannya lewat berbagai cara, termasuk isu agama yang dipakai untuk mengadu mereka.
Kesimpulan
Dengan mengetahui keadaan Suriah serta intrik–intrik yang dipakai untuk menghancurkannya, kini AS sudah bersiap siaga untuk melakukan invasi, jika Obama meniup peluitnya.
Penulis meyakini bahwa salah satu cara efektif melemahkan umat Islam adalah dengan mengadu domba mereka sehingga Muslimin terkuras energinya dan itulah yang AS jalankan lewat isu Suriah ini. Strategi serupa juga sesungguhnya yang dimainkan AS untuk menghancurkan negara-negar Muslim lainnya seperti Libya dan Irak.
Lantas, haruskah kita biarkan Amerika dan sekutunya menggempur Suriah dengan alasan mereka adalah pemerintahan kafir syiah? Lalu siapa yang jadi korbannya?
Atau kita harus mendukung pemerintah Suriah dengan alasan selama mereka menjadi lawan Israel dan Amerika dan mempunyai kontribusi signifikan terhadap perjuangan Palestina? Siapa sebenarnya mereka dan apa tujuannya?
Atau kita harus bersikap netral, bahkan acuh dengan tragedi ini, menganggap hal itu hanyalah konflik politik dalam negeri Suriah semata?
Ini semua adalah pilihan yang sulit, karena semuanya memiliki resiko pahit bagi semua pihak.
Namun, penulis melihat ada hikmah luar biasa yang bisa kita petik dari isu Suriah ini. Sudah waktunya umat Islam dimana pun berada membuka mata dan hatinya untuk bersatu. Persatuan dan kesatuan Muslimin harus segera kita rajut demi mengembalikan kejayaan Muslimin seperti masa Rasulullah dan para sahabat terbaiknya.
Selain itu, isu itu seharusnya menyadarkan kaum Muslimin agar tidak mudah di adu domba dengan pihak lain yang sama-sama berjuang melawan kezaliman Zionis Israel dan pendukung-pendukungnya.(P04/R2).
*Oleh Widi Kusnadi*Redaktur Mi’raj News Agency (MINA)
No comments:
Post a Comment