Kitab-kitab modern saat ini, atau kitab klasik yang ditakhrij,
karya-karya tulis ilmiyah, artikel-artikel dan sebagainya, serentak
semuanya menggunakan hasil takhrij hadis yang dilakukan oleh Syaikh
Nashiruddin al-Albani. Ada apa di balik gerakan ini? Sosok yang satu ini
tiba-tiba melejit menjadi ‘ahli hadis’ tanpa tandingan bagi kalangan
Wahhabi, tanpa diketahui perjalanan menuntut ilmu hadisnya dan guru-guru
yang membimbingnya.
Sementara tahapan teoritik dan factual untuk menjadi ‘Ahli Hadis’
amatlah rumit dan tak semudah menjadi ahli hadis gadungan. Disini saya
rangkai secara sistematis pembahasan tentang tema diatas dengan
didahului perihal ilmu hadis, kriteria seorang ahli hadis, ahli hadis
gadungan yang menempuh jalan otodidak, dan bukti-bukti nyata kesalahan
fatal ahli hadis palsu, baik dari pengikut Albani maupun dari para
kritikusnya. Selamat Membaca, semoga Allah memberi manfaat dan
meningkatkan kewaspadaan dalam masalah ini. Amin
Ilmu Hadis
Hadis terdiri dari dua disiplin ilmu, yaitu Ilmu Dirayat dan Ilmu
Riwayat. Ilmu Dirayat lebih dikenal dengan ilmu Mushtalah Hadis yang
membahas status hadis terkait sahih, hasan, dlaif atau maudlu’nya.
Sementara ilmu Riwayat berkaitan dengan sanad hadis sampai kepada
Rasulullah Saw. Kedua disiplin ilmu ini tidak dapat dipilih salah
satunya saja bagi ahli hadis, keduanya harus sama-sama mampu dikuasai.
Sebagaimana yang dikutip beberapa kitab Musthalah Hadis terkait
pengakuan Imam Bukhari bahwa beliau hafal 300.000 hadis, yang 100.000
adalah sahih dan yang 200.000 adalah dlaif, maka Imam Bukhari juga hafal
dengan kesemua sanadnya tersebut. (Syarah
Taqrib an-Nawawi I/13)
Ilmu hadis memiliki kesamaan dengan ilmu Qira’ah al-Quran, yaitu
tidak cukup dengan ilmu secara teori dari teks kitab dan tidak cukup
secara otodidak, tetapi harus melalui metode ‘Talaqqi’ atau transfer
ilmu secara langsung dari guru kepada murid dalam majlis ilmu.
Kriteria ‘Ahli Hadis’ Dan ‘al-Hafidz’
al-Hafidz as-Suyuthi mengutip dari para ulama tentang ‘ahli hadis’ dan ‘al-hafidz’:
قَالَ الشَّيْخُ فَتْحُ الدِّينِ بْنِ سَيِّدِ النَّاسِ وَأَمَّا
الْمُحَدِّثُ فِي عَصْرِنَا فَهُوَ مَنِ اشْتَغَلَ بِالْحَدِيْثِ رِوَايَةً
وَدِرَايَةً وَاطَّلَعَ عَلَى كَثِيْرٍ مِنَ الرُّوَاةِ وَالرِّوَايَاتِ
فِي عَصْرِهِ, وَتَمَيَّزَ فِي ذَلِكَ حَتَّى عُرِفَ فِيْهِ حِفْظُهُ
وَاشْتَهَرَ فِيْهِ ضَبْطُهُ. فَإِنْ تَوَسَّعَ فِي ذَلِكَ حَتَّى عَرَفَ
شُيُوْخَهُ وَشُيُوْخَ شُيُوْخِهِ طَبْقَةً بَعْدَ طَبْقَةٍ، بِحَيْثُ
يَكُوْنَ مَا يَعْرِفُهُ مِنْ كُلِّ طَبْقَةٍ أَكْثَرَ مِمَّا يَجْهَلُهُ
مِنْهَا، فَهَذَا هُوَ الْحَافِظُ (تدريب الرّاوي في شرح تقريب النّواوي 1 / 11)
“Syaikh Ibnu Sayyidinnas berkata: Ahli hadis (al-Muhaddits) di masa
kami adalah orang yang dihabiskan waktunya dengan hadis baik secara
riwayat atau ilmu mushthalah, dan orang tersebut mengetahui beberapa
perawi hadis dan riwayat di masanya, serta menonjol sehingga dikenal
daya hafalannya dan daya akurasinya. Jika ia memiliki pengetahuan yang
lebih luas sebingga mengetahui para guru, dan para maha guru dari
berbagai tingkatan, sekira yang ia ketahui dari setiap jenjang tingkatan
lebih banyak daripada yang tidak diketahui, maka orang tersebut adalah
al-Hafidz” (Al-Hafidz as-Suyuthi, Syarah Taqrib I/11)
وَقَالَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّيْنِ السُّبْكِي إِنَّهُ سَأَلَ
الْحَافِظَ جَمَالَ الدِّيْنِ الْمِزِّي عَنْ حَدِّ الْحِفْظِ الَّذِي
إِذَا انْتَهَى إِلَيْهِ الرَّجُلُ جَازَ أَنْ يُطْلَقَ عَلَيْهِ
الْحَافِظُ ؟ قَالَ يُرْجَعُ إِلَى أَهْلِ الْعُرْفِ, فَقُلْتُ وَأَيْنَ
أَهْلُ الْعُرْفِ ؟ قَلِيْلٌ جِدًّا, قَالَ أَقَلُّ مَا يَكُوْنُ أَنْ
يَكُوْنَ الرِّجَالُ الَّذِيْنَ يَعْرِفُهُمْ وَيَعْرِفُ تَرَاجُمَهُمْ
وَأَحْوَالَهُمْ وَبُلْدَانَهُمْ أَكْثَرَ مِنَ الَّذِيْنَ لاَ
يَعْرِفُهُمْ, لِيَكُوْنَ الْحُكْمُ لِلْغَالِبِ, فَقُلْتُ لَهُ هَذَا
عَزِيْزٌ فِي هَذَا الزَّمَانِ (تدريب الرّاوي في شرح تقريب النّواوي 1 /
11)
“Syaikh Taqiyuddin as-Subki berkata bahwa ia bertanya kepada
al-Hafidz Jamaluddin al-Mizzi tentang kriteria gelar al-Hafidz. Syaikh
al-Mizzi menjawab: Dikembalikan pada ‘kesepakatan’ para pakar. Syaikh
as-Subki bertanya: Siapa para pakarnya? Syaikh al-Mizzi menjawab: Sangat
sedikit. Minimal orang yang bergelar al-Hafidz mengetahui para perawi
hadis, baik biografinya, perilakunya dan asal negaranya, yang ia ketahui
lebih banyak daripada yang tidak diketahui. Agar mengena kepada yang
lebih banyak. Saya (as-Subki) berkata kepada beliau: Orang semacam ini
sangat langka di masa sekarang (Abad ke 8 Hijriyah)” (Al-Hafidz
as-Suyuthi, Syarah Taqrib I/11)
Otodidak Bukan Ahli Hadis
Pengertian otodidak adalah sebagai berikut:
(الصَّحَفِيّ) مَنْ يَأْخُذُ الْعِلْمَ مِنَ الصَّحِيْفَةِ لاَ عَنْ
أُسْتَاذٍ (المعجم الوسيط 1/ 508 تأليف إبراهيم مصطفى وأحمد الزيات وحامد
عبد القادر ومحمد النجار)
“Shahafi (otodidak) adalah orang yang mengambil ilmu dari kitab (buku), bukan dari guru” (Mu’jam al-Wasith I/508)
يَقُوْلُ الدَّارِمِي مَا كَتَبْتُ حَدِيْثًا وَسَمِعْتُهُ يَقُوْلُ لاَ
يُؤْخَذُ الْعِلْمُ مِنْ صَحَفِيٍّ (سير أعلام النبلاء للذهبي بتحقيق
الارناؤط 8/ 34)
“ad-Darimi (ahli hadis) berkata: Saya tidak menulis hadis (tapi
menghafalnya). Ia juga berkata: Jangan mempelajari ilmu dari orang yang
otodidak” (Siyar A’lam an-Nubala’, karya adz-Dzahabi ditahqiq oleh
Syuaib al-Arnauth, 8/34)
Syuaib al-Arnauth memberi catatan kaki tentang ’shahafi’ tersebut:
الصَّحَفِيُّ مَنْ يَأْخُذُ الْعِلْمَ مِنَ الصَّحِيْفَةِ لاَ عَنْ
أُسْتَاذٍ وَمِثْلُ هَذَا لاَ يُعْتَدُّ بِعِلْمِهِ لِمَا يَقَعُ لَهُ مِنَ
الْخَطَأِ
“Shahafi ada orang yang mengambil ilmu dari kitab, bukan dari guru.
Orang seperti ini tidak diperhitungkan ilmunya, sebab akan mengalami
kesalahan”
al-Hafidz adz-Dzahabi berkata:
قَالَ الْوَلِيْدُ كَانَ اْلاَوْزَاعِي يَقُوْلُ كَانَ هَذَا الْعِلْمُ
كَرِيْمًا يَتَلاَقَاهُ الرِّجَالُ بَيْنَهُمْ فَلَمَّا دَخَلَ فِي
الْكُتُبِ دَخَلَ فِيْهِ غَيْرُ أَهْلِهِ وَرَوَى مِثْلَهَا ابْنُ
الْمُبَارَكِ عَنِ اْلاَوْزَاعِي. وَلاَ رَيْبَ أَنَّ اْلاَخْذَ مِنَ
الصُّحُفِ وَبِاْلاِجَازَةِ يَقَعُ فِيْهِ خَلَلٌ وَلاَسِيَّمَا فِي ذَلِكَ
الْعَصْرِ حَيْثُ لَمْ يَكُنْ بَعْدُ نَقْطٌ وَلاَ شَكْلٌ فَتَتَصَحَّفُ
الْكَلِمَةُ بِمَا يُحِيْلُ الْمَعْنَى وَلاَ يَقَعُ مِثْلُ ذَلِكَ فِي
اْلاَخْذِ مِنْ أَفْوَاهِ الرِّجَالِ (سير أعلام النبلاء للذهبي 7/ 114)
“al-Walid mengutip perkataan al-Auza’i: “Ilmu ini adalah sesuatu yang
mulia, yang saling dipelajari oleh para ulama. Ketika ilmu ini ditulis
dalam kitab, maka akan dimasuki oleh orang yang bukan ahlinya.” Riwayat
ini juga dikutip oleh Ibnu Mubarak dari al-Auza’i. Tidak diragukan lagi
bahwa mencari ilmu melalui kitab akan terjadi kesalahan, apalagi dimasa
itu belum ada tanda baca titik dan harakat. Maka kalimat-kalimat menjadi
rancu beserta maknanya. Dan hal ini tidak akan terjadi jika mempelajari
ilmu dari para guru” (Siyar A’lam an-Nubala’, karya adz-Dzahabi, 7/114)
Syuaib al-Arnauth juga memberi catatan kaki tentang hal tersebut:
وَلِهَذَا كَانَ الْعُلَمَاءُ لاَ يَعْتَدُّوْنَ بِعِلْمِ الرَّجُلِ
إِذَا كَانَ مَأْخُوْذًا عَنِ الصُّحُفِ وَلَمْ يَتَلَقَّ مِنْ طَرِيْقِ
الرِّوَايَةِ وَالْمُذَاكَرَةِ وَالدَّرْسِ وَالْبَحْثِ
“Oleh karena itu, para ulama tidak memeperhitungkan ilmu seseorang
yang diambil dari buku, yang tidak melalui jalur riwayat, pembelajaran
dan pembahasan”
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadis layak disebut ahli hadis? Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini:
أَمَّا مَنْ كَانَ يَكْتَفِي بِاْلأَخْذِ مِنَ الْكِتَابِ وَحْدَهُ
دُوْنَ أَنْ يُعَرِّضَهُ عَلَى الْعُلَمَاءِ وَدُوْنَ أَنْ يَتَلَقَّى
عِلْمُهُ فِي مَجَالِسِهِمْ فَقَدْ كَانَ عَرَضَةً لِلتَّصْحِيْفِ
وَالتَّحْرِيْفِ، وَبِذَلِكَ لَمْ يَعُدُّوْا عِلْمَهُ عِلْمًا وَسَمُّوْهُ
صَحَفِيًّا لاَ عَالِمًا …. فَقَدْ كَانَ الْعُلَمَاءُ يُضَعِّفُوْنَ مَنْ
يَقْتَصِرُ فِي عِلْمِهِ عَلَى اْلأَخْذِ مِنَ الصُّحُفِ مِنْ غَيْرِ أَنْ
يَلْقَى الْعُلَمَاءَ وَيَأْخُذَ عَنْهُمْ فِي مَجَالِسِ عِلْمِهِمْ،
وَيَسُمُّوْنَهُ صَحَفِيًّا، وَمِنْ هُنَا اشْتَقُّوْا “التَّصْحِيْفَ”
وَأَصْلُهُ “أَنْ يَأْخُذَ الرَّجُلُ اللَّفْظَ مِنْ قِرَاءَتِهِ فِي
صَحِيْفَةٍ وَلَمْ يَكُنْ سَمِعَهُ مِنَ الرِّجَالِ فَيُغَيِّرُهُ عَنِ
الصَّوَابِ”. فَاْلإِسْنَادُ فِي الرِّوَايَةِ اْلأَدَبِيَّةِ لَمْ يَكُنْ،
فِيْمَا نَرَى، إِلاَّ دَفْعًا لِهَذِهِ التُّهْمَةِ (مصادر الشعر الجاهلي
للشيخ ناصر الاسد ص 10 من مكتبة الشاملة)
“Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa
memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis
ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak
menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak,
bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang
yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat
tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab
tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng
dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan
kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir
asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Masalah otodidak ini sudah ada sejak lama dalam ilmu hadis. Al-Hafidz
Ibnu Hajar mengomentari seseorang yang otodidak berikut ini:
فَإِنَّهُ (اَيْ أَبَا سَعِيْدِ بْنِ يُوْنُسَ) كَانَ صَحَفِيًّا لاَ يَدْرِي مَا الْحَدِيْثُ (تهذيب التهذيب للحافظ ابن حجر 6/ 347)
“Abu Said bin Yunus adalah orang otodidak yang tidak mengerti apa itu hadis” (Tahdzib al-Tahdzib VI/347)
al-Hafidz Ibnu Hajar dan adz-Dzahabi memberi contoh nama lain tentang shahafi:
174 – عَبْدُ الْمَلِكِ بْنِ حَبِيْبِ الْقُرْطُبِي أَحَدُ اْلأَئِمَّةِ
وَمُصَنِّفُ الْوَاضِحَةِ كَثِيْرُ الْوَهْمِ صَحَفِيٌّ وَكَانَ بْنُ
حَزْمٍ يَقُوْلُ لَيْسَ بِثِقَةٍ وَقَالَ الْحَافِظُ أَبُوْ بَكْرِ بْنِ
سَيِّدِ النَّاسِ فِي تَارِيْخِ اَحْمَدَ بْنِ سَعِيْدِ الصَّدَفِي
تَوَهَّنَهُ عَبْدُ الْمَلِكِ بْنِ حَبِيْبٍ وَاِنَّهُ صَحَفِيٌّ لاَ
يَدْرِي الْحَدِيْثَ (لسان الميزان للحافظ ابن حجر 4/ 59 وميزان الاعتدال
للذهبي 2/ 652)
“Abdul Malik bin Habib al-Qurthubi, salah satu imam dan pengarang
kitab yang banyak prasangka, adalah seorang otodidak. Ibnu Hazm berkata:
Dia bukan orang terpercaya. al-Hafidz Ibnu Sayyidinnas berkata bahwa
Abdul Malik bin Habib adalah otodidak yang tak mengerti hadis” (Lisan
al-Mizan 4/59 dan Mizan al-I’tidal 2/652)
Begitu pula al-Hafidz Ibnu an-Najjar berkata:
عُثْمَانُ بْنُ مُقْبِلِ بْنِ قَاسِمِ بْنِ عَلِيٍّ أَبُوْ عَمْرٍو
الْوَاعِظُ الْحَنْبَلِيُّ …. وَجَمَعَ لِنَفْسِهِ مُعْجَمًا فِي
مُجَلَّدَةٍ وَحَدَّثَ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ مَعْرِفَةٌ بِالْحَدِيْثِ
وَاْلاِسْنَادِ وَقَدْ صَنَّفَ كُتُبًا فِي التَّفْسِيْرِ وَالْوَعْظِ
وَالْفِقْهِ وَالتَّوَارِيْخِ وَفِيْهَا غَلَطٌ كَثِيْرٌ لِقِلَّةِ
مَعْرِفَتِهِ بِالنَّقْلِ ِلاَنَّهُ كَانَ صَحَفِيًّا يَنْقُلُ مِنَ
الْكُتُبِ وَلَمْ يَأْخُذْهُ مِنَ الشُّيُوْخِ (ذيل تاريخ بغداد لابن نجار
2/ 166)
“Utsman bin Muqbil bin Qasim bin Ali al-Hanbali… Ia telah menghimpun
kitab Mu’jam dalam beberapa jilid dan mengutip hadis, padahal ia tidak
mengetahui tentang hadis dan sanad. Ia juga mengarang kitab-kitab
tafsir, mauidzah, fikih dan sejarah. Di dalamnya banyak kesalahan,
karena minimnya pengetahuan tentang riwayat. Sebab dia adalah otodidak
yang mengutip dari beberapa kitab, bukan dari para guru” (Dzailu Tarikhi
Baghdad II/166)
Ibnu al-Jauzi dan adz-Dzahabi juga berkomentar tentang shahafi:
114 خَلاَسُ بْنُ عَمْرٍو الْهِجْرِي : يُرْوَي عَنْ عَلِيٍّ وَعَمَّارٍ
وَأَبِي رَافِعٍ كَانَ مُغِيْرَةُ لاَ يَعْبَأُ بِحَدِيْثِهِ وَقَالَ
أَيُّوْبُ لاَ يُرْوَ عَنْهُ فَإِنَّهُ صَحَفِيٌّ (الضعفاء والمتروكين لابن
الجوزي 1/ 255 والمغني في الضعفاء للذهبي 1/ 210)
“Khalas bin Amr al-Hijri. Diriwayatkan dari Ali, Ammar dan Abi Rafi’
bahwa Mughirah tidak memperhatikan hadisnya. Ayyu berkata: Janganlan
meriwayatkan hadis dari Khalas bin Amr, karena ia otodidak” (adh-Dhu’afa
wa al-Matrukin 1/255 dan al-Mughni fi Dhu’afa’ 1/210)
Imam ar-Razi dan Ibnu ‘Adi juga melarang mempelajari hadis dari shahafi:
بَابُ بَيَانِ صِفَةِ مَنْ لاَ يُحْتَمَلُ الرِّوَايَةُ فِي
اْلاَحْكَامِ وَالسُّنَنِ عَنْهُ … عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوْسَى اِنَّهُ
قَالَ لاَ تَأْخُذُوْا الْحَدِيْثَ عَنِ الصَّحَفِيِّيْنَ وَلاَ
تَقْرَأُوْا الْقُرْآنَ عَلَى الْمُصْحَفِيِّيْنَ (الجرح والتعديل للرازي
2/ 31 والكامل في ضعفاء الرجال لابن عدي 1/ 156)
“Bab tentang sifat orang-orang yang tidak boleh meriwayatkan hukum
dan sunah darinya… Dari Sulaiman bin Musa, ia berkata: Janganlah
mengambil hadis dari orang otodidak dan janganlah belajar al-Quran dari
orang yang otodidak” (al-Razi dalam al-Jarhu wa at-Ta’dil 2/31 dan Ibnu
‘Adi dalam al-Kamil 1/156)
Dengan demikian, orang yang otodidak dalam hadis yang tidak memiliki
guru bukanlah ahli hadis, karya kitab-kitabnya banyak ditemukan
kesalahan-kesalahan dan para ulama melarang mengutip riwayat darinya.
Syaikh Nashiruddin al-Albani yang Otodidak
Syaikh Albani awalnya adalah tukang service jam, namun ia punya
semangat mempelajari hadis di Perpustakaan adh-Dhahiriyah di Damaskus.
Konon setiap harinya mencapai 12 jam di Perpustakaan. Tidak pernah
istirahat mentelaah kitab-kitab hadits, kecuali jika waktu shalat tiba.
Untuk makannya, seringkali hanya sedikit makanan yang dibawanya ke
perpustakaan. Akhirnya kepala kantor perpustakaan memberikan sebuah
ruangan khusus di perpustakaan untuknya. Bahkan kemudian ia diberi
wewenang untuk membawa kunci perpustakaan. Dengan demikian, Al-Albani
makin leluasa mempelajari banyak sumber
Sekilas biografi diatas sesuai dengan kisah berikut ini. Diceritakan
bahwa ada seseorang dari Mahami yang bertanya kepada Syaikh Albani:
“Apakah anda ahli hadis (Muhaddis)?” Syaikh Albani menjawab: “Ya!” Ia
bertanya: “Tolong riwayatkan 10 hadis kepada saya beserta sanadnya!”
Syaikh Albani menjawab: “Saya bukan ahli hadis penghafal, saya ahli
hadis kitab.” Orang tadi berkata: “Saya juga bisa kalau menyampaikan
hadis ada kitabnya.” Lalu Syaikh Albani terdiam (Baca Syaikh Abdullah
al-Harari dalam Tabyin Dlalalat Albani 6)
Ini menunjukkan bahwa Syaikh Albani adalah Shahafi atau otodidak
ketika mendalami hadis dan ia sendiri mengaku bukan penghafal hadis.
Dalam ilmu Musthalah Hadis jika ada perawi yang kualitas hafalannya
buruk (sayyi’ al-hifdzi) maka status hadisnya adalah dlaif, bukan perawi
sahih. Demikian juga hasil takhrij yang dilakukan oleh Syaikh Albani
yang tidak didasari dengan ‘Dlabit’ (akurasi hafalan seperti yang dimiliki oleh para al-Hafidz dalam ilmu hadis) juga sudah pasti lemah dan banyak kesalahan.
Bahwa Albani tidak mempelajari hadis dari para ahlinya ini dibuktikan
dalam kitab-kitab biografi tentang Albani yang ditulis oleh para
pengikutnya seperti ‘Hayatu al-Albani’ karya asy-Syaibani, ‘Tsabat
Muallafat al-Albani’ karya Abdullah bin Muhammad asy-Syamrani dan
sebagainya. Pada umumnya tatkala kita membuka kitab-kitab biografi para
ulama, di depan mukaddimah terdapat sejarah tentang perjalanan menuntut
ilmu dan para gurunya. Namun hal ini tidak terjadi dalam buku-buku
biografi Albani, justru yang disebutkan oleh pengikutnya adalah untaian
kalimat miris berikut ini:
عُرِفَ الشَّيْخُ اْلأَلْبَانِي رَحِمَهُ اللهُ بِقِلَّةِ شُيُوْخِهِ
وَبِقِلَّةِ إِجَازَاتِهِ . فَكَيْفَ اسْتَطَاعَ أَنْ يُلِّمَّ
بِالْعُلُوْمِ وَلاَ سِيَّمَا عِلْمِ الْحَدِيْثِ وَعِلْمِ الْجَرْحِ
وَالتَّعْدِيْلِ عَلَى صُعُوْبَتِهِ ؟ (ثبت مؤلفات الألباني لعبد الله بن
محمد الشمراني 7)
“Syaikh Albani dikenal dengan sedikitnya guru dan minimnya ijazah
dalam hadis. Maka bagaimana ia mampu memperdalam ilmu-ilmu, apalagi ilmu
hadis dan ilmu tentang metode memberi penialaian cacat dan adil yang
sangat sulit?” (Tsabat Muallafat al-Albani’ karya Abdullah bin Muhammad
asy-Syamrani, 7)
Ini adalah sebuah pengakuan dan pertanyaan yang tak pernah dijawab oleh muridnya sendiri?!
Kesalahan Albani Dikoreksi Para Pengikutnya
Penilaian yang bersifat obyektif adalah koreksi yang secara sadar
disampaikan sendiri oleh para pengikut Albani. Abdullah ad-Dawisy yang
merupakan pengikut Wahhabi memberi otokritik kepada Albani yang
dinilainya sering ‘tanaqudh’ (kontradiksi) dan memberi ‘warning’
(peringatan) kepada para penelaah kitab Albani agar tidak ‘tertipu’
dengan penilaian Albani tentang kedhaifan hadis. Berikut pembuka
komentarnya:
أَمَّا بَعْدُ : فَهَذِهِ أَحَادِيْثُ وَآثَارٌ وَقَفْتُ عَلَيْهَا فِي
مُؤَلَّفَاتِ الشَّيْخِ مُحَمَّدٍ نَاصِرِ الدِّيْنِ اْلأَلْبَانِي
تَحْتَاجُ إِلَى تَنْبِيْهٍ مِنْهَا مَا ضَعَّفَهُ وَلَمْ يَتَعَقَّبْهُ
وَمِنْهَا مَا ضَعَّفَهُ فِي مَوْضِعٍ وَقَوَّاهُ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ
وَمِنْهَا مَا قَالَ فِيْهِ لَمْ أَجِدْهُ أَوْ لَمْ أَقِفْ عَلَيْهِ أَوْ
نَحْوَهُمَا ، وَلَمَّا رَأَيْتُ كَثِيْرًا مِنَ النَّاسِ يَأْخُذُوْنَ
بِقَوْلِهِ بِدُوْنِ بَحْثٍ نَبَّهْتُ عَلَى مَا يَسَّرَنِيَ اللهُ
تَعَالَى . فَمَا ضَعَّفَهُ وَهُوَ صَحِيْحٌ أَوْ حَسَنٌ وَلَمْ
يَتَعَقَّبْهُ بَيَّنْتُهُ وَمَا ضَعَّفَهُ فِي مَوْضِعٍ ثُمَّ تَعَقَّبَهُ
ذَكَرْتُ تَضْعِيْفَهُ ثُمَّ ذَكَرْتُ تَعْقِيْبَهُ لِئَلاَّ يَقْرَأَهُ
مَنْ لاَ اطِّلاَعَ لَهُ فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي ضَعَّفَهُ فِيْهِ
فَيَظُنُّهُ ضَعِيْفًا مُطْلَقًا وَلَيْسَ اْلأَمْرُ عَلَى مَا ظَنَّهُ
(تنبيه القارئ على تقوية ما ضعفه الألباني عبدالله بن محمد الدويش 5)
“Kitab ini terdiri dari hadis dan atsar yang saya temukan dalam
kitab-kitab Syaikh Albani yang memerlukan peringatan, diantaranya hadis
yang ia nilai dhaif tapi tidak ia ralat, diantaranya juga hadis yang ia
nilai dhaif di satu kitab tetapi ia sahihkan di kitab yang lain, juga
yang ia katakan ’saya tidak menemukannya’ (padahal dapat ditemukan dalam
kitab-kitab hadis), dan sebagainya. Ketika saya melihat banyak orang
yang mengambil keterangan dari Albani tanpa meneliti maka saya ingatkan,
sesuai yang dimudahkan oleh Allah kepada saya. Maka, apa yang
didhaifkan oleh Albani padahal hadis itu sahih atau hasan, maka saya
jelaskan. Juga hadis yang didhaifkan Albani di satu kitab tapi ia ralat,
maka saya sebutkan penilaian dhaifnya dan ralatannya tersebut. Supaya
tidak dibaca oleh orang yang tidak mengerti di bagian kitab yang dinilai
dhaif oleh Albani sehingga ia menyangka bahwa hadis itu dhaif secara
mutlak, padahal hakikatnya tidak seperti itu” (Tanbih al-Qari’, 5)
Kritik ad-Dawisy ini dipuji oleh penulis biografi Albani,
asy-Syamrani, yang dinilainya memuliakan dan memiliki sopan santun
kepada Syaikh Albani (Baca kitab Asy-Syamrani, Tsabat Muallafat Albani,
98)
Contoh kongkrit adalah hadis riwayat Ahmad dan Abu Dawud di bawah ini
yang dinilai dhaif oleh Albani dalam kitab Takhrij Ahadits al-Misykat
1/660:
عن معاذ الجهني قال قال رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَنْ قَرَأَ
الْقُرْآنَ وَعَمِلَ بِمَا فِيهِ أُلْبِسَ وَالِدَاهُ تَاجًا يَوْمَ
الْقِيَامَةِ ضَوْءُهُ أَحْسَنُ مِنْ ضَوْءِ الشَّمْسِ فِي بُيُوتِ
الدُّنْيَا ، لَوْ كَانَتْ فِيكُمْ فَمَا ظَنُّكُمْ بِالَّذِي عَمِلَ
بِهَذَا » . رواه أحمد وأبو داود . قال في تخريج أحاديث المشكاة : إسناده
ضعيف ( جـ 1 ص 660) . انتهى . أقول : ليس الأمر كما قال : بل حسن أو صحيح .
ولعله لم يطلع على ما يشهد له وقد ورد ما يشهد له ويقويه من حديث بريدة …
وهذا الإسناد على شرط مسلم فقد خرج لبشير بن مهاجر في صحيحه ، ورواه الحاكم
وصححه . ووافقه الذهبي ، وقال الهيثمي في مجمع الزوائد (جـ 7 ص 159) :
رواه أحمد ورجاله رجال الصحيح وذكر له شواهد من حديث أبي أمامة وأبي هريرة
ومعاذ بن جبل . وبالجملة فالحديث أقل أحواله أن يكون حسنًا والقول بصحته
ليس ببعيد والله أعلم (تنبيه القارئ على تقوية ما ضعفه الألباني 7)
Ad-Dawisy berkata: “Yang benar tidak seperti yang dikatakan Albani.
Bahkan hadis ini adalah hasan atau sahih! Bisa jadi Albani tidak
mengetahui hadis penguat lain (syahid) dari riwayat Buraidah yang
sanadnya sesuai kriteria sahih Muslim yang disahihkan oleh al-Hakim dan
adz-Dzahabi menyetujuinya. Alhaitsami berkata dalam Majma’ az-Zawaid
(7/159): HR Ahmad, perawinya adalah perawi hadis sahih. Secara umum,
hadis ini minimal adalah hasan, dan pendapat yang menyatakan sahih dapat
diterima” (Tanbih al-Qari’, 7)
Jika ad-Dawisy mampu mematahkan keilmuan Albani di bidang hadis, lalu mengapa Wahhabi masih taklid buta kepada Albani?
Abdullah bin Muhammad ad-Dawisy menilai kontradiksi Albani yang
dinilainya dlaif di satu kitab tetapi ia sahihkan di kitab lain
berjumlah 294 hadis. Sementara yang sebaliknya (dari sahih ke dhaif)
berjumlah 13 hadis (Baca keseluruhan kitab Tanbih al-Qari’). Sebuah
kesalahan fatal bagi ahli hadis yang tak pernah terjadi sebelumnya dan
Albani adalah pemecah rekornya!
Dalam Shofware kitab Maktabah asy-Syamilah yang sudah popular,
terdapat sebuah kitab yang memuat ralatan atas kesalahah penilaian
Albani dalam masalah hadis, anehnya kitab ini tidak disebutkan
pengarangnya tetapi masuk ke dalam folder kitab-kitab Albani. Kitab
tersebut bernama ‘Taraju’at Syaikh Albani’. Dalam kitab tersebut memuat
beberapa kesalahan Albani dengan rincian sebagai berikut: Dhaif ke sahih
atau hasan sebanyak 114 hadis, sahih atau hasan ke dlaif sebanyak 71
hadis, Hasan ke sahih atau sebaliknya sebanyak 9 hadis, dlaif ke maudlu’
sebanyak 6 hadis. Dengan demikian kesemuanya berjumlah 200 hadis
Kesalahan Dalam Karya-Karya Syaikh Albani
Kesalahan Albani tidak hanya diakui oleh murid-muridnya sendiri.
Kenyataan di atas juga diakui oleh Syaikh Yusuf Qardhawi di dalam
tanggapan beliau terhadap al-Albani yang mengomentari hadis-hadis di
dalam kitabnya berjudul ‘al-Halal wal-Haram fil-Islam’, sebagai berikut:
“Oleh sebab itu, penetapan Syaikh al-Albani tentang dha’if-nya suatu
hadits bukan merupakan hujjah yang qath’i (pasti) dan sebagai kata
pemutus. Bahkan dapat saya katakan bahwa Syaikh al-Albani hafizhahullah
kadang-kadang melemahkan suatu hadits dalam satu kitab dan
mengesahkannya (menshahihkannya) dalam kitab lain”. (Lihat Halal dan
Haram, DR. Yusuf Qardhawi, Robbani Press, Jakarta, 2000, hal. 417).
Syaikh Yusuf Qardhawi juga banyak menghadirkan bukti-bukti kecerobohan
al-Albani dalam menilai hadis yang sekaligus menunjukkan sikapnya yang “tanaqudh”.
Berikut beberapa bukti kongkrit kontradiksi Albani dalam menilai
hadis yang telah diteliti oleh Syaikh Hasan bin Ali Assegaf (Cucu Sayyid
Abdurrahman Assegaf pengarang kitab Syarah Fathul Muin, Tarsyih
al-Mustafidin) dalam kitab beliau yang bernama ‘Tanaqudhat al-Albani
al-Wadhihat’:
Hadis Pertama
حديث عن محمود بن لبيد قال : أخبر رسول الله صلى الله عليه وآله عن رجل
طلق امرأته ثلاث تطليقات جميعا ، فقام غضبان ، ثم قال : (أيلعب بكتاب الله
عزوجل وأنا بين أظهركم ؟ !) حتى قام رجل فقال : يا رسول الله ألا أقتله ؟ !
رواه النسائي . ضعفه الالباني في تخريج (مشكاة المصابيح) الطبعة الثالثة ،
بيروت – سنة 1405 ه المكتب الاسلامي (2 / 981) فقال : ورجاله ثقات لكنه
من رواية مخرمة عن أبيه ولم يسمع منه . اه ثم تناقض فصححه في كتاب (غاية
المرام تخريج أحاديث الحلال والحرام) طبعة المكتب الاسلامي ، الطبعة
الثالثة 1405 ه صفحة (164) حديث رقم (261)
“Albani menilainya dlaif dalam Misykat al-Mashabih (Juz II hal. 981.
Cetakan III, Beirut, 1405 H, al-Maktab al-Islami). Kemudian ia
menilainya sahih dalam Kitab Ghayat al-Maram Takhrij Ahadits al-Halal wa
al-Haram (Hal. 164 No hadis: 261, Cetakan III, Maktab al-Islami, 1405
H)”
Hadis Kedua
حديث : إذا كان أحدكم في الشمس فقلص عنه الظل وصار بعضه في الظل وبعضه
في الشمس فليقم) أقول : صححه الالباني فقال في صحيح الجامع الصغير وزيادته
(1 / 266 / 761) صحيح الاحاديث الصحيحة : 835 . اه ثم تناقض فضعفه في :
تخريج (مشكاة المصابيح) (3 / 1337 / برقم 4725 الطبعة الثالثة) وقد عزاه في
كل من الموضعين إلى سنن أبي داود .
“Albani menilainya sahih dalam Kitab Sahih al-Jami’ ash-Shaghir wa
Ziyadatuhu (I/266) dan Sahih al-Hadits ash-Shahihah No 835. Kemudian
Albani menilainya dlaif dalam Kitab Misykat al-Mashabih (Juz III, hal.
1337 No hadis: 4725 Cetakan III)”
Hadis Ketiga
حديث : الجمعة حق واجب على كل مسلم … ضعفه الالباني في : تخريج (مشكاة
المصابيح) (1 / 434) : فقال : رجاله ثقات وهو منقطع كما أشار أبو داود اه
بمعناه ومن التناقضات أنه : أورد الحديث في إرواء الغليل (3 / 54 / برقم
592) وقال : صحيح . اه فتدبروا يا أولي الالباب .
Albani menilai dlaif dalam Kitab Misykat al-Mashabih (I/434), ia
berkata: Perawinya terpercaya tetapi hadis ini terputus sebagaimana
isyarah Abu Dawud. Namun hadis ini dicantumkan oleh Albani dalam Kitab
Irwa’ al-Ghalil (III/54 No hadis: 592). Albani berkata: “Hadis ini
sahih”
Hadis Keempat
حديث : عبد الله بن عمرو مرفوعا : (الجمعة على من سمع النداء) رواه أبو
داود . صححه الالباني في : (إرواء الغليل) (3 / 58) فقال : حسن . اه وناقض
نفسه فضعفه في : تخريج مشكاة المصابيح 1 / 343) (برقم 1375) حيث قال :
سنده ضعيف . اه
“Albani menilai sahih dalam Kitab Irwa’ al-Ghalil (III/58). Albani
berkata: “Hadis ini hasan”. Tetap Albani menilainya dlaif dalam Kitab
Misykat al-Mashabih (I/343 No hadis 1375). Albani berkata: “Sanadnya
dlaif”
Hadis Kelima
حديث أنس بن مالك أن رسول الله صلى الله عليه وآله كان يقول : (لا
تشددوا على أنفسكم فيشدد الله عليكم فإن قوما شددوا على أنفسهم فشدد الله
عليهم . . .) رواه أبو داود . ضعفه الالباني في : (تخريج المشكاة) (1 / 64)
فقال : بسند ضعيف اه . ثم تناقض فحسنه في آخر تخريجه في (غاية المرام) ص
(141) بعد أن حكم عليه هناك أيضا بالضعف فقال : فلعل حديثه هذا حسن بشاهده
المرسل عن أبي قلابة . اه
“Albani menilai dlaif dalam Kitab Misykat al-Mashabih (I/64). Albani
berkata: “Diriwayatkan dengan sanad yang dlaif. Tapi Albani menilainya
hasan dalam Kitab Ghayat al-Maram hal. 141, setelah menghukuminya dlaif,
Albani berkata: “Semoga hadis ini hasan dengan dalil penguat secara
Mursal dari Abu Qilabah”
Hadis Keenam
حديث السيدة عائشة رضي الله عنها قالت : (من حدثكم أن النبي صلى الله
عليه وآله كان يبول قائما فلا تصدقوه ما كان يبول إلا قاعدا) رواه أحمد
والترمذي والنسائي . ضعفه الالباني في تخريج (مشكاة المصابيح) (1 / 117)
فقال : اسناده ضعيف اه ثم من تناقضاته أنه صححه في سلسلة الاحاديث الصحيحة
(1 / 345 برقم 201) فتأمل أخي القارئ
“Albani menilai dlaif dalam Kitab Misykat al-Mashabih (I/171). Albani
berkata: “Sanadnya dlaif”. Tapi Albani menilainya sahih dalam Silsilah
al-Ahadits ash-Shahihah (I/345 No hadis 201)”
Hadis Ketujuh
حديث : ثلاثة لا تقربهم الملائكة جيفة الكافر والمتضمخ بالخلوق والجنب
إلا أن يتوضأ) رواه أبو داود . صححه الالباني في (صحيح الجامع الصغير
وزيادته) (3 / 71 برقم 3056) فقال : حسن تخريج الترغيب (1 / 91) . اه ومن
تناقضاته أنه ضعفه في تخريج (مشكاة المصابيح) (1 / 144 برقم 464) فقال :
ورجاله ثقات لكنه منقطع بين الحسن البصري وعمار فإنه لم يسمع منه كما قال
المنذري في الترغيب (1 / 91) .
“Albani menilainya sahih dalam kitab Sahih al-Jami’ No 3056, ia
berkata: “hadis ini hasan”. Tetapi Albani menilainya dhaif dalam Kitab
Tajhrij Misykat al-Mashabih No 464. Albani berkata: “Perawinya
terpercaya, tetapi hadis ini terputus antara Hasan Bashri dan Ammar”
Syaikh Hasan bin Ali Assegaf dalam Kitabnya ‘Tanaqudhat al-Albani
al-Qadhihat’ dalam Juz Pertama memuat 249 kesalahan Albani, baik dari
sahih ke dhaif maupun sebaliknya. Tulisan Syaikh Hasan bin Ali al-Saqqaf
yang berjudul Tanaqudhat al-Albani al-Wadhihat merupakan kitab yang
menarik dan mendalam dalam mengungkapkan kesalahan fatal al-Albani
tersebut. Beliau mencatat seribu lima ratus (1500) kesalahan yang
dilakukan al-Albani lengkap dengan data dan faktanya. Bahkan menurut
penelitian ilmiah beliau, ada tujuh ribu (7000) kesalahan fatal dalam
buku-buku yang ditulis al-Albani. Dengan demikian, apabila mayoritas
ulama sudah menegaskan penolakan tersebut, berarti Nashiruddin al-Albani
itu memang tidak layak untuk diikuti dan dijadikan panutan.
Di antara Ulama Islam yang mengkritik al-Albani adalah al-Imam
al-Jalil Muhammad Yasin al-Fadani penulis kitab al-Durr al-Mandhud Syarh
Sunan Abi Dawud dan Fath al-’Allam Syarh Bulugh al-Maram; al-Hafizh Abdullah al-Ghummari dari Maroko; al-Hafizh Abdul Aziz al-Ghummari dari Maroko; al-Hafizh
Abdullah al-Harari al-Abdari dari Lebanon pengarang Syarh Alfiyah
al-Suyuthi fi Mushthalah al-Hadits; al-Muhaddits Mahmud Sa’id Mamduh
dari Uni Emirat Arab pengarang kitab Raf’u al-Manarah li-Takhrij Ahadits
al-Tawassul wa al-Ziyarah; al-Muhaddits Habiburrahman al-A’zhami dari
India; Syaikh Muhammad bin Ismail al-Anshari seorang peniliti Komisi
Tetap Fatwa Wahhabi dari Saudi Arabia; Syaikh Muhammad bin Ahmad
al-Khazraji menteri agama dan wakaf Uni Emirat Arab; Syaikh Badruddin
Hasan Dayyab dari Damaskus; Syaikh Muhammad Arif al-Juwaijati; Syaikh
Hasan bin Ali al-Saqqaf dari Yordania; al-Imam al-Sayyid Muhammad bin
Alwi al-Maliki dari Mekkah; Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin dari Najd
(ulama Wahabi-red) yang menyatakan bahwa al-Albani tidak memiliki
pengetahuan agama sama sekali; dan lain-lain. Masing-masing ulama
tersebut telah mengarang bantahan terhadap al-Albani (sebagian dari
buku-buku al-Albani dan bantahannya ada pada perpustakaan Tim PCNU
Jember).
Syaikh Albani Mendhaifkan Hadis Bukhari-Muslim
Kesalahan fatal dan sembrono Albani juga nampak jelas ketika ia
banyak menilai dhaif dalam kitab sahih Bukhari dan Sahih Muslim, yang
telah dinobatkan oleh umat sebagai kitab yang paling valid (sahih)
setelah al-Quran. berikut bukti-bukti nyata:
Hadis Pertama:
حديث : (قال الله تعالى : ثلاثة أنا خصمهم يوم القيامة : رجل أعطى بي ثم
غدر ، ورجل باع حرا فأكل ثمنه ، ورجل استأجر أجيرا فاستوفى منه ولم يعطه
أجره)) . قال الالباني في ضعيف الجامع وزيادته) (4 / 111 برقم 4054) : رواه
أحمد والبخاري (2114) عن أبي هريرة (ضعيف) ! ! !
“Albani berkata: “Hadis ini dhaif” (Dhaif al-Jami’ ash-Shaghir No 4054). Hadis ini Diriwayatkan oleh al-Bukhari No 2114″
Hadis Kedua:
حديث : (لا تذبحوا إلا بقرة مسنة ، إلا أن تتعسر عليكم فتذبحوا جذعة من
الضأن) . قال الالباني في (ضعيف الجامع وزيادته) (6 / 64 برقم 6222) : رواه
الامام أحمد ومسلم (1963) وأبو داود والنسائي وابن ماجه عن جابر (ضعيف) ! !
! .
“Albani berkata: “Hadis ini dhaif” (Dhaif al-Jami’ ash-Shaghir No 6222). Hadis ini Diriwayatkan oleh Muslim No 1963″
Hadis Ketiga:
حديث : (إن من شر الناس عند الله منزلة يوم القيامة الرجل يفضي إلى
امرأته ، وتفضي إليه ثم ينشر سرها) . قال الالباني في (ضعيف الجامع
وزيادته) (2 / 197 برقم 2005) : رواه مسلم (1437) عن أبي سعيد ” (ضعيف) ! !
! .
“Albani berkata: “Hadis ini dhaif” (Dhaif al-Jami’ ash-Shaghir No 2005). Hadis ini Diriwayatkan oleh Muslim No 1437″
Hadis Keempat:
حديث : (إذا قام أحدكم من الليل فليفتتح صلاته بركعتين خفيفتين) قال
الالباني في (ضعيف الجامع وزيادته) (1 / 213 برقم 718) : رواه الامام أحمد
ومسلم (768 ( عن أبي هريرة (ضعيف) ! !
“Albani berkata: “Hadis ini dhaif” (Dhaif al-Jami’ ash-Shaghir No 719). Hadis ini Diriwayatkan oleh Muslim No 769″
Hadis Kelima:
حديث : (أنتم الغر المحجلون يوم القيامة ، من إسباغ الوضوء ، فمن استطاع
منكم فليطل غرته وتحجيله) (1) . قال الالباني في (ضعيف الجامع وزيادته)
(14 / 2 برقم 1425) : رواه مسلم (246) عن أبي هريرة (ضعيف بهذا التمام) .
“Albani berkata: “Hadis ini dhaif” (Dhaif al-Jami’ ash-Shaghir No 1425). Hadis ini Diriwayatkan oleh Muslim No 246″
Hadis Keenam:
حديث : (إن من أعظم الامانة عند الله يوم القيامة الرجل يفضي إلى امرأته
. . .) (2) . قال الالباني في (ضعيف الجامع وزيادته) (2 / 192 برقم 1986) :
رواه أحمد ومسلم (1437) وأبو داود عن أبي سعيد (ضعيف) ! ! .
“Albani berkata: “Hadis ini dhaif” (Dhaif al-Jami’ ash-Shaghir No 1986). Hadis ini Diriwayatkan oleh Muslim No 1437″
Hadis Ketujuh:
حديث : (من قرأ العشر الاواخر من سورة الكهف عصم من فتنة الدجال). قال
الالباني في (ضعيف الجامع وزيادته) (5 / 233 برقم : 5772 رواه أحمد ومسلم
(809) والنسائي عن أبي الدرداء (ضعيف) ! !
“Albani berkata: “Hadis ini dhaif” (Dhaif al-Jami’ ash-Shaghir No 1986). Hadis ini Diriwayatkan oleh Muslim No 1437″
Hadis Kedelapan:
حديث : (كان له صلى الله عليه وسلم فرس يقال له اللحيف) . قال الالباني
في ضعيف الجامع وزيادته) (4 / 208 برقم 4489 : رواه البخاري (2855) عن سهل
بن سعد (ضعيف) ! ! ! .
“Albani berkata: “Hadis ini dhaif” (Dhaif al-Jami’ ash-Shaghir No 4489). Hadis ini Diriwayatkan oleh al-Bukhari No 2855″
Penutup
Walhasil, Syaikh Nashiruddin al-Albani bukan al-Hafidz yang berhak
memberi penilaian status hadis. Jangankan menjadi al-Hafidz, untuk
memenuhi criteria sebagai ‘Muhaddits’ masih sangat jauh. Masihkah anda
lebih percaya pada takhrij Albani dengan mengalahkah ulama sekaliber
al-Hafidz Ibnu Hajar, al-Hafidz as-Suyuthi, adz-Dzahabi, dan ahli hadis
lainnya?
By: Moh. Ma’ruf Khozin
Seorang Muslim Yang Belajar Islam Langsung Dari Al-Qur'an Dan Hadits Pastilah Seorang Ahli Bid'ah Sayyi'ah. Sebab Rasulullah Telah Berwasiat untuk Berpegang Teguh Pada Alqur-an dan As-Sunnah Dengan Mengikuti Pemahaman Para Sahabat, Tabi'in, Tabi'ittabi'in. Bukan Pemahaman Diri Sendiri. Dan Beruntunglah Yang Bermadzhab Hanafi, Maliki, dan Syafi'i Yang Merupakan Imam Dari Kalangan Tabi'in dan Tabi'ittabi'in
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment