Dalam tradisi keilmuan
Nusantara, dikenal istilah wali. Diantara kata wali yang paling populer
adalah ‘walisanga’ yang berarti wali sembilan sebagai penyebar Islam
pertama di Nusantara. Wali juga biasa diidentikkan dengan seseorang yang
memilki kelebihan (karomah). Sebagian dari masyarakat muslim
mempercayai keberadaan dan ‘kelebihan’ yang dimiliki para wali dan
sangat menaruh hormat kepada mereka. Kepercayaan itu diungkapkan dalam
bentuk mengunjungi maqbaroh untuk bertawassul kepada mereka.
Akan tetapi sebagian masyarakat yang lain tidak percaya dengan
keberadaan wali bahkan menganggap para wali sebagai sarang ke-bid’ah-an.
Hal ini terjadi karena miskinnya pengetahuan atau seringnya pemaknaan
kata wali yang merujuk pada hal-hal negatif.
Menurut bahasa, kata wali itu kebalikan
dari ‘aduw, musuh. Bisa jadi berarti sahabat, kawan atau kekasih.
Umumnya wali Allah diartikan kekasih Allah. Menurut istilah ahli
hakikat, wali mempunyai dua pengertian, Pertama, orang yang
dijaga dan dilindungi Allah, sehingga dia tidak dan tidak perlu
menyandarkan diri dan mengandalkan pada dirinya sendiri. Seperti dalam
al-Qur’an surah al-A’raf 196
Artinya: Sesungguhnya pelindungku ialahlah Yang telah menurunkan Al Kitab (Al Quran) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh.
Artinya: Sesungguhnya pelindungku ialahlah Yang telah menurunkan Al Kitab (Al Quran) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh.
Kedua, orang yang melaksanakan
ibadah kepada Allah dan menanti-Nya secara tekun terus menerus tak
pernah kendur dan tidak diselingi dengan berbuat maksiat, maka Allah pun
mencintainya.
Kedua-duanya merupakan syarat kewalian.
Wali haruslah orang yang terpelihara (mahfudz) dari melanggar syara’ dan
karenanya dilindungi oleh Allah, sebagaimana nabi adalah orang yang
terjaga (ma’shum) dari berbuat dosa dan dijaga oleh-Nya.
Ada beberapa hal yang dapat dijadikan penanda bagi wali Allah
a. Himmah atau seluruh perhatiannya hanya kepada Allah
b. Tujuannya hanya kepada Allah
c. Kesibukannya hanya kepada Allah
Ada beberapa hal yang dapat dijadikan penanda bagi wali Allah
a. Himmah atau seluruh perhatiannya hanya kepada Allah
b. Tujuannya hanya kepada Allah
c. Kesibukannya hanya kepada Allah
Ada juga yang mengatakan tanda wali
Allah adalah senantiasa memandang rendah dan kecil kepada diri sendiri
serta khawatir jatuh dari kedudukannya (di mata Allah) di mana ia
berada. (baca Jamharatul Auliya wa A’lamu Ahlit Tatsawwuf, hal 73-110)
Kalau menurut al-Qur’an, ini tentu saja
paling benar, wali Allah adalah orang-orang mu’min yang senantiasa
bertakqwa dan karenanya mendapat karunia tidak mempunyai rasa takut
(kecuali kepada Allah) dan tidak pernah bersedih. Seperti dalam
al-Qur’an surah Yunus: 62-63
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٦٢﴾ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
Artinya: Ketahuilah sesungguhnya
wali-wali Alloh tidak ada rasa takut atas mereka dan tidak pula mereka
bersedih hati, (Yaitu mereka) adalah orang-orang yang beriman dan mereka
senantiasa bertaqwa
Atau dengan kata lain, wali Allah adalah
orang mu’min yang senantiasa mendekat (taqarrub) kepada Allah dengan
terus mematuhi-Nya dan mematuhi Rasul-Nya. sehingga akhirnya dia
dianugrahi karomah, semacam ‘sifat ilmu niluwih’ (seperti mukjizat Nabi.
Bedanya, mu’jizat nabi melalui pengakuan –dan sebagai bukti- kenabian;
sedang karomah wali tidak mengikuti pengakuan kewalian).
Dalam sebuah hadits qudsi (hadits Nabi
saw. yang menceritakan firman Allah) yang diriwayatkan Imam Bukhari dan
Shahabat Abu Hurairah r.a Rasulullah saw bersabda:
إن الله تعالى قال: من عادى لي وليا فقد
أذنته بالحرب وما تقرب إلـي عبدى بشيئ أحب إلـي مما افترضته عليه ولايزال
عبدى يتقرب الـي بالنوافل حتى احبه فاذا احببته كنت سمعه الذى يسمع به
وبصره الذى يبصربه ويده التى يبطش بها ورجله التى يمشى بها وإن سألنى
لأعطينه وإن استعاذنـي لأعيذنه
Artinya: Allah Ta’ala telah
berfirman: Barang siapa memusuhi wali-Ku, maka Aku benar-benar
mengumumkan perang terhadapnya. Hamba-Ku tidak berdekat-dekat, taqarrub,
kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku sukai melebihi apa yang telah
aku fardhukan kepadanya. Tak henti-hentinya hamba-Ku mendekat-dekat
kepada-Ku dengan melaksanakan kesunahan-kesunahan sampai Aku
mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya maka Akulah pendengarannya
dengan apa ia mendengar. Akulah penglihatannya dengan apa ia melihat.
Akulah tangannya dengan apa ia memukul. Akulah kakinya dengan apa ia
berjalan. Dan jika ia meminta kepada-Ku, Aku akan memberinya, jika ia
meminta perlindungan kepada-Ku, Aku akan melindunginya.
Boleh saja orang mempunyai ‘sifat
linuwih’ misalnya bisa membaca pikiran orang, bisa berkomunikasi dengan
binatang atau orang yang sudah mati, bisa berjalan di atas air, atau
kesaktian-ksaktian lainnya, tetapi tentu saja dia tidak otomatis bisa
disebut wali. Sebab dajjal, dukun, tukang sihir, ‘ahli hikmah’ tukang
sulap atau paranormal pun bisa memperlihatkan kesaktian semacam itu.
Sebaliknya bisa saja seorang wali dalam
kehidupannya sama sekali tidak tampak lain dari orang-orang biasa. Lihat
saja dari kesembilan wali Tanah Jawa, yang terkenal punya kesaktian
hanya Sunan Kalijogo yang mempunyai kesaktian membuat soko guru masjid
Demak dari tatal dan Sunan Bonang yang mengubah buah pinang tampak
menjadi emas. Jadi kewalian seseorang tidak diukur dengan keanehan dan
kesaktiannya, perilaku ataupun pakaiannya melainkan kedekatan dan
ketakwaan kepada Allah.
(sumber: Fikih Keseharian Gus Mus)
No comments:
Post a Comment