Jangan dikira bahwa madzhab itu hanya untuk orang-orang awam saja, bahkan para ulama besar pun juga bermadzhab.
Di dalam kitab “Al-Imam Asy-Syafi”i, Bainal Madzhabihil Qadim wal
Jadid”, Dr. Nahrawi Abdussalam menuliskan bahwa di antara para pengikut
mazhab Syafi’i adalah Al-Imam Al-Bukhari, seorang tokoh ahli hadits yang
kitabnya tershahih di dunia setelah Al-Quran.
Al-Bukhari memang tokoh ahli hadits
dan paling kritis dalam menyeleksi hadits. Namun beliau bukan ahli
ijtihad yang mengistinbath hukum sendiri sampai setingkat mujtahid
muthlaq. Dalam masalah menarik kesimpulan hukum, beliau menggunakan
metodologi yang digunakan dalam madzhab Syafi’i. Dengan demikian, beliau
adalah salah satu ulama besar yang bermadzhab, yaitu madzhab Syafi’i.
Ada juga di antara murid madzhab
As-Syafi’i yang kemudian naik derajatnya sampai mampu menciptakan
metodologi istinbath sendiri, sehingga beliau kemudian mendirikan
sendiri madzhabnya, yaitu Imam Ahmad bin Hanbal. Marahkah As-Syafi’i
mengetahui muridnya mendirikan madzhab sendiri? Beliau berkomentar, “Aku
tinggalkan Baghdad dan tidak ada orang yang lebih faqih dari Imam Ahmad
bin Hanbal.” Bahkan Imam Syafi’i juga pernah menimba ilmu hadits kepada
Imam Ahmad bin Hanbal. Guru jadi murid, murid jadi guru. Begitulah para
ulama, mereka tidak malu menimba ilmu bahkan kepada muridnya sendiri.
Mengapa Bermadzhab?
Kalau saja jumlah nash-nash syariah
itu hanya 6.000-an ayat Quran plus 7.000-an hadits shahih Bukhari, tentu
saja mudah sekali bagi setiap orang untuk beragama. Tetapi ketahuilah,
bahwa nash-nash syariat jauh lebih banyak dari semua itu. Al-Quran
memang hanya 6.000-an ayat saja, tapi bagaimana dengan hadits nabawi?
Apakah hadits itu hanya shahih bila Bukhari saja yang mengatakannya?
Tentu saja tidak, sebab Imam Bukhari itu hanya satu dari sekian ratus
atau sekian ribu muhaddits yang ada di dunia ini. Salah besar bila kita
beranggapan hanya hadits Bukhari saja yang benar dan semua hadits selain
yang terdapat dalam kitab shahihnya harus ditolak.
Imam Bukhari itu menghafal lebih
dari 600 ribu hadits. Hadits shahih yang beliau hafal belum semuanya
dituliskan. Masih banyak hadits shahih yang belum beliau tuliskan, atau
sudah beliau tulis, namun dalam kitab lain. Imam Ahmad, beliau menghafal
1 juta hadits. Belum lagi muhadditsin lainnya.
Ini baru dari sisi jumlah sumber
nash syariah, padahal masalah hukum agama ini tidak semata-mata
ditentukan oleh nash-nash saja, namun lebih jauh dari itu, setiap nash
itu masih harus diteliti kekuatan derajatnya, lalu dikomparasikan antara
satu dengan lainnya. Mengapa harus demikian? Sebab begitu banyak
nash-nash syariah itu yang sekilas antara satu dengan yang lain saling
berbeda, bukan hanya redaksinya tetapi sampai pada masalah esensinya.
Bayangkan, ada dua nash yang sama-sama shahih, keduanya tercantum di
dalam kitab Shahih Bukhari, tapi yang satu mengatakan haram dan yang
lain bilang halal. Kalau sudah demikian, kita akan bilang apa?
Tentu perlu sebuah kajian mendalam
dari segala sisi, serta kemampuan khusus dalam melakukannya. Minimal
orang yang melakukan kajian ini punya kemampuan untuk berijtihad sampai
pada tingkat tertentu. Dan harus ada logika yang kuat untuk bisa
mengatakan kesimpulan akhirnya, apakah hukukmnya halal atau haram.
Lalu kepada siapakah kita
menyerahkan masalah ini? Adakah suatu dewan pakar yang mau
mengerjakanannya dengan teliti, cermat dan lengkap?
Jawabnya, para ulama madzhab-madzhab
itulah yang telah berjasa besar untuk melakukan ”mega proyek” itu. Dan
mereka -Alhamdulillah- adalah orang-orang yang shalih, pakar, ahli,
jenius serta ikhlash, mereka tidak pernah minta bayaran.
Masa perkembangan madzhab-madzhab
besar dunia fiqih dimulai pada kira-kira setengah abad setelah kepergian
nabi SAW, yaitu sejak tahun 97 Hijriyah. Ditandai dengan kelahiran Imam
Madzhab pertama yaitu Abu Hanifah rahimahullah, yang telah berhasil
memadukan antara dalil nash Quran dan sunnah sesuai dengan logika nalar
hukum. Kemudian diikuti oleh Imam Malik, Imam As-Syafi’i dan Imam Ahmad
bin Hanbal rahimahumullah. Mereka semua adalah guru dari ummat Islam,
karena merekalah yang telah berjasa melakukan isitnbath hukum dari
Al-Quran dan Sunnah, sehingga bisa menguraikan hukum-hukum Islam secara
detail, rinci, lengkap, bahkan meliputi semua aspek kehidupan.
Bahkan mereka telah meletakkan
dasar-dasar istinbath hukum, yang kemudian menjadi modal sekaligus model
bagi seluruh ulama di dunia untuk melakukannya. Nyaris boleh dibilang
bahwa tidak ada ulama yang mampu melakukan istinbath hukum yang berbeda,
kecuali menggunakan salah satu metode yang telah mereka rintis. Karena
itulah keempat madzhab mereka tetap bertahan sampai ribuan tahun, bahkan
berhasil menjadi sebuah disiplin ilmu yang abadi sepanjang zaman.
Kita sering mendengar pernyataan
kalangan anti madzhab yang mengatakan, “mengapa Anda mengikuti Imam
asy-Syafi’i, kok tidak mengikuti Rasulullah saw saja?”, atau “siapa yang
lebih alim, Rasulullah saw atau Imam asy-Syafi’i?” Tentu saja
pertanyaan tersebut sangat tidak ilmiah, dan menjadi bukti bahwa
kalangan anti madzhab memang tidak memahami al-Qur’an dan ilmu ushul
fiqih.
Ketika seseorang itu mengikuti Imam
asy-Syafi’i, hal itu bukan berarti dia meninggalkan Rasulullah saw.
Karena bagaimanapun Imam asy-Syafi’i itu bukan saingan Rasulullah saw
atau menggantikan posisi beliau sebagai Nabi. Para ulama yang mengikuti
madzhab asy-Syafi’i seperti Imam al-Bukhari, al-Hakim, Daraquthni,
al-Baihaqi, an-Nawawi, Ibn Hajar dan lain-lain, berkeyakinan bahwa Imam
asy-Syafi’i lebih mengerti dari pada mereka terhadap makna-makna
al-Qur’an dan hadits Rasulullah saw secara menyeluruh. Ketika mereka
mengikuti asy-Syafi’i, bukan berarti meninggalkan al-Qur’an dan Sunnah.
Akan tetapi mengikuti al-Qur’an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman orang
yang lebih paham dari mereka, yaitu Imam asy-Syafi’i.
Hal tersebut dapat dianalogikan
dengan ketika para ulama mengikuti perintah al-Qur’an tentang hukum
potong tangan bagi para pencuri. Dalam al-Qur’an tidak dijelaskan,
sampai di mana batasan tangan pencuri yang harus dipotong? Apakah sampai
lengan, sikut atau bahu? Ternyata Rasulullah saw menjelaskan sampai
pergelangan tangan. Hal ini ketika kita menerapkan hukum potong tangan
dari bagian pergelangan tangan, bukan berarti kita mengikuti Rasulullah
saw dengan meninggalkan al-Qur’an. Akan tetapi kita mengikuti al-Qur’an
sesuai dengan penjelasan Rasulullah saw yang memang diberi tugas oleh
Allah SWT sebagai mubayyin, penjelas isi-isi al-Qur’an.
Al-Qur’an al-Karim sendiri mengajarkan kita untuk taqlid dan bermadzhab kepada ulama
seperti dalam ayat “Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan
jika kamu tidak mengetahui.” Dalam ayat itu, Allah SWT memerintahkan
orang yang tidak tahu agar bertanya kepada para ulama. Allah SWT tidak
memerintahnya agar membolak-balik terjemahan al-Qur’an atau kitab-kitab
hadits, sebagaimana yang dilakukan oleh para anti madzhab.
Lalu bagaimana dengan kita yang
tidak bertemu dengan para imam itu? Para imam itu mempunyai murid,
muridnya mempunyai murid, terus begitu. Nah, pelajarilah ilmu mereka
melalui ulama yang sanad ilmunya bersambung kepada para Imam itu. Ada
pun para Imam, tentunya sanad ilmu mereka bersambung hingga ke Rasul
SAW.
Alhamdulillah, di Indonesia ini banyak ulama-ulama bermadzhab Syafi’i yang sanad ilmu mereka bersambung hingga ke Rasul.
Walau pun sanad ilmu mereka tidak mereka sebutkan, kita tahu bahwa
mereka telah berguru kepada ulama-ulama Syafi’iyah yang telah berguru
kepada ulama-ulama Syafi’iyah juga dan bersambung hingga ke Imam
Syafi’i. Jika masih ragu, kita dapat mencocokkan ilmu mereka dengan ilmu
dari ulama-ulama yang menjelaskan sanad mereka.
Seperti halnya ustadz di tempat
saya, beliau telah banyak mengambil ijazah dari Habib Munzir bin Fuad
al-Musawa. Sehingga kitab-kitab yang beliau ajarkan itu memang benar
berisi ilmu dari madzhab Syafi’iyyah. Sehingga makin jelaslah bahwa ilmu
yang beliau ajarkan itu bersambung sanadnya kepada Imam Syafi’i.
Padahal dulunya beliau juga pernah belajar dan mengamalkan ajaran Salafy
Wahhabi. Beliau bahkan pernah membubarkan suatu acara tahlilan yang
sedang dilakukan di salah satu rumah warga. Tetapi Alhamdulillah, beliau
bertaubat dan meninggalkan ajaran-ajaran Salafy Wahhabi itu dan
kemudian mempelajari ilmu-ilmu ASWAJA yang benar dan bermadzhab Syafi’i.
Beliau belajar kepada KH. Abdullah Syafi’i, KH. Syafi’i Hadzami, Guru
Mughni, dll. Dan hingga kini, beliau menjadi ustadz Sunni-Syafi’i yang
diakui keilmuannya.
Allahu A'lam
Allahu A'lam
No comments:
Post a Comment