Dalam kitab Subulus Salam,
karya al-Shan’ani dikisahkan, suatu hari, Khalifah Ali bin Abi Thalib
sedang berjalan-jalan di Kota Madinah. Ia memantau segala situasi dan
kondisi masyarakat Madinah. Tak disangka, saat itu ia melihat seseorang
sedang memakai baju besi.
Ali mengenali baju besi tersebut.
Dirinya sangat yakin baju besi itu adalah miliknya yang telah hilang
beberapa waktu sebelumnya saat Perang Shiffin.
Tanpa menunggu
waktu, Khalifah Ali langsung mendatangi orang yang bersangkutan dan
diketahui seorang Yahudi. Ali menyatakan baju besi itu adalah
kepunyaannya.
Tentu saja kedatangan Khalifah Ali yang mendadak itu membuat si Yahudi ini kaget. “Baju besi ini kepunyaanku yang jatuh dari untaku (Awraq) saat Perang Shiffin,” kata Ali.
Si Yahudi menolak pernyataan Ali, dan ia pun mempertahankan baju besi yang dipegangnya dengan argumentasi yang meyakinkan. “Tidak, baju besi ini milikku,” kata dia.
Karena
saling mengklaim, maka keduanya sepakat untuk membawa perkara itu ke
mahkamah keadilan. Hakim yang menjadi pengadil adalah Syuraih bin
Al-Harits Al-Kindi Rahimahullah (RA), dan merupakan sahabat dekat
Khalifah Ali.
Di mahkamah keadilan, Ali duduk di sisi Syuraih.
Sedangkan si Yahudi duduk di hadapan keduanya. Ali mengatakan, dirinya
ingin duduk berdampingan dengan si Yahudi, namun dia merasa enggan.
Ali
pun mengadukan hal yang menjadi perdebatan di antara dirinya dengan si
Yahudi. “Wahai tuan hakim, aku menuntut orang Yahudi ini karena ia telah
menguasai baju besi milikku, tanpa sepengetahuanku,” ujar Ali kepada
Syuraih.
Syuraih menoleh ke arah si Yahudi dan bertanya, ”Betulkah tuduhan Ali, baju besi yang berada di tanganmu itu miliknya?” Orang Yahudi itu menyanggahnya. ”Tidak, tuan hakim. Baju besi ini kepunyaanku,” kata dia.
Ali tampak emosional dan menuding si Yahudi telah berbohong. “Dia bohong, baju besi itu milikku, dan aku sangat mengenali baju besi itu,” kata Khalifah Ali menegaskan.
Syuraih pun menengahi agar Ali tidak berpanjang-panjang. ”Begini,
Saudara Ali bin Abi Thalib. Yang terlihat, baju besi itu kini berada
dalam penguasaan Yahudi ini. Jadi, kalau engkau mengklaim baju besi itu
milikmu, engkau harus mengajukan dua saksi atau bukti-bukti lainnya.”
Ali
pun siap dengan permintaan Syuraih. Ia pun menunjukkan dua anaknya,
Hasan dan Husein untuk menjadi saksinya. Namun demikian, kedua saksi
yang ditunjuk Ali, ternyata ditolak oleh Syuraih.
”Kesaksian
anak kandung, berapa pun jumlahnya, tidak sah menurut hukum yang
berlaku. Jadi, kalau tidak ada bukti-bukti lain, tuduhanmu itu batal dan
baju besi ini mutlak kepunyaan Yahudi ini,” kata Syuraih.
Karena
tak bisa lagi menunjukkan bukti lainnya, Ali menerima vonis yang telah
diputuskan oleh Syuraih yang ditunjuk oleh keduanya untuk menjadi
pengadil di antara mereka.
Tuduhan Khalifah Ali yang juga kepala negara dibatalkan oleh pengadilan. Dan baju besi, tetap berada di tangan si Yahudi.
Ali
pun dengan lapang dada menerimanya, walau saksi yang mau diajukannya
sangat mengetahui kasus yang sebenarnya. Namun, karena itu dianggap
bagian dari ‘nepotisme’, maka kesaksiannya tidak dibenarkan.
Menyaksikan
sikap Ali yang legowo (lapang dada), terketuklah hati si Yahudi. Ia pun
mengakui baju besi itu adalah milik Ali yang terjatuh saat Perang
Shiffin. Ia kemudian bersyahadat. Wallahu a’lam.
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/14/08/22/naostk-ali-dan-baju-besi
AJARAN KEBENCIAN BUKANLAH AJARAN RASULULLAH, TAPI AJARAN WAHABI TAKFIRI
Seorang Muslim Yang Belajar Islam Langsung Dari Al-Qur'an Dan Hadits Pastilah Seorang Ahli Bid'ah Sayyi'ah. Sebab Rasulullah Telah Berwasiat untuk Berpegang Teguh Pada Alqur-an dan As-Sunnah Dengan Mengikuti Pemahaman Para Sahabat, Tabi'in, Tabi'ittabi'in. Bukan Pemahaman Diri Sendiri. Dan Beruntunglah Yang Bermadzhab Hanafi, Maliki, dan Syafi'i Yang Merupakan Imam Dari Kalangan Tabi'in dan Tabi'ittabi'in
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment